Oct 23, 2014

Mendidik Anak Laki-Laki Sebagai Calon Imam Keluarga Tangguh

"Mendidik satu anak laki-laki sama dengan membangun sebuah peradaban, karena mereka adalah calon imam keluarga, calon pemimpin peradaban. Ketika kita mendidik mereka dengan benar, maka kita sedang berkontribusi untuk munculnya "khairu ummah" (ummat terbaik) yang terdiri dari keluarga-keluarga dahsyat, yang dipimpin para imam keluarga yang tangguh. Rakyat yang tangguh akan memiliki pemimpin yang unggul, karena pemimpin adalah cerminan rakyatnya."
MENDIDIK ANAK LAKI-LAKI DI JAMAN RASULULLAH SAW
Rasulullah SAW telah memulai pendidikan generasi aqil baligh ini tentu pada dirinya sendiri lewat bimbingan Allah SWT. Usia 9-12 tahun, Rasulullah SAW telah magang berdagang ke Syams bersama pamannya. Usia 17 tahun beliau sudah memiliki usaha mandiri sebagai manager perdagangan regional, usia 25 sudah menjadi bussiness owner. Usia 40 tahun beliau sudah berdakwah meluruskan tata cara dan moral. Rasulullah SAW menjadi "coach" mendampingi para anak laki-laki muda, para Sahabat Rasulullah yang mulia, yang saat itu masih anak-anak saat Rasul menjelang senja.

Kita mengenal Usamah bin Zaid ra. Siroh mencatat bahwa Rasulullah SAW menikahkan Usamah ra ketika berusia 14 tahun. Apakah Rasulullah SAW lalai ketika menikahkan Usamah ra? Tentu tidak. Usamah telah mengalami pendidikan generasi aqil baligh. Siroh kemudian mencatat bahwa Usamah ra ditunjuk menjadi panglima perang ke Tabuk pada usia 16 tahun. Apakah Rasulullah SAW  lalai ketika menunjuk seseorang dalam penugasan yang penting? Tentu tidak. Kami meyakini bukan hanya Usamah ra yang menjalani pendidikan generasi aqil baligh ini, tetapi juga sahabat-sahabat lain yang seangkatan dengannya. Tentu dengan pendidikan yang disesuaikan dengan potensinya masing-masing. Karenanya, model mendidik seperti ini kemudian menjadi tradisi selama ratusan tahun setelah Rasulullah SAW wafat.

Jika dikonversi dengan zaman sekarang, usia 20 tahun ke atas hampir sama dengan usia 14 tahun ketika zaman Rasulullah SAW. Zaman kita kurang lebih mundur 6 tahun tingkat kedewasaannya. Ada upaya melambatkan terbentuknya generasi aqil baligh ini. Bukan hanya pada generasi muda Islam, namun seluruh generasi di abad modern. Sebuah Journal Psikologi tahun 2009 menyebutkan bahwa penyebab penyimpangan perilaku generasi muda adalah karena lambatnya pengakuan sosial pada kedewasaan mereka. Di Amerika, bahkan kecenderungan seorang dianggap dewasa ketika berusia 26 tahun.

Model mendidik generasi aqil baligh seperti yang Rasulullah SAW teladankan kemudian menjadi tradisi selama ratusan tahun setelah Rasulullah SAW wafat. Kita saksikan sepanjang sejarah putra-putra aqil baligh Islam bukan hanya mandiri ketika aqil baligh tetapi telah memiliki peran yang menebar rahmat dan manfaat kepada umat. Imam Syafii rahimahullah telah menjadi Mufti (pemberi fatwa) di usia 14 tahun. Alkhawarizmi telah menjadi penemu pemikiran-pemikiran matematika sejak usia 10 tahun dan menjadi guru besar di usia 16 tahun. 


Dalam masyarakat yang menyerahkan anaknya pada persekolahan modern, sulit untuk melahirkan generasi aqil baligh. Sistem persekolahan yang ada telah mensegregasi anak-anak menjadi kelas-kelas sosial yang seolah-olah telah baku. Misalnya disebut dewasa kalau sudah lulus kuliah dan bekerja. Di masyarakat modern, jarang ada yang mau menerima anak-anak berusia 14-16 tahun dalam sebuah peran-peran di sosial masyarakat. 

Bagaimanakah model belajar yang tepat untuk mendidik para calon imam keluarga ini? Home Education secara berjamaah adalah lembaga yang paling siap dan mampu melakukan hal itu. Kuatkan pendidikan berbasis keluarga dalam bentuk komunitas. Apakah ada contohnya? Mari kita tengok salah satu Community Based Education yang muncul menjadi budaya masyarakat di Minangkabau.

MENDIDIK ANAK LAKI-LAKI DENGAN KONSEP SURAU
(Surau Bagonjong - Padang)
Anak lelaki yang sudah aqil baligh, dibudayakan malu untuk tidur di rumah, mereka tidur di Surau untuk ditempa dan dibina aqil dan kemandiriannya menuju aqil baligh menjadi pribadi mukalaf yang mampu menjalani masa sinnu taklif, dimana kewajiban syar'i fardu ain dan fardu kifayah telah setara dengan kedua orang tuanya. Anak-anak itu tidur, makan, belajar dan bercengkerama dalam kebersamaan. Tiada bodoh dan pintar, tiada nilai rapot, yang ada adalah pengakuan pemimpin Surau dan warga bahwa ia telah sholeh dan telah mandiri serta bermanfaat.

Sebuah surau dipimpin oleh seorang local leader, dia adalah seorang ulama (Labay). Sedangkan yang merupakan wakil ulama yang mengurusi keperluan surau dan disebut Gharin. Labay atau Buya tidak bisa diharapkan 100% hadir mengurusi surau karena selain tugas keagamaan, ia juga melakoni tugas mencari nafkah untuk keluarganya.

Seorang Buya atau Labay dalam kesehariannya bisa saja sebagai petani, pedagang, penjahit, atau apa saja. Mereka biasanya merupakan teladan dalam hal keshalehan pribadi dan keshalehan sosial, begitupula teladan dalam pertanian dan perdagangan dsbnya. Karena sejatinya merekalah Guru, Ulama dan model keteladanan di desa. Modeling kepemimpinan dan keteladanan inilah sepanjang sejarah yang melahirkan kepemimpinan.

Dalam kultur surau, pembantu Labay selain Gharin adalah Pandeka yang bertugas mengajari ilmu siasat dan pencak silat yang lazim disebut sebagai pelajaran tentang Langkah Yang Empat. Oleh Labay, Pandeka juga diberi upah yang layak untuk menopang hidupnya. Meskipun tidak mengharapkan upah dari murid-muridnya, sebagai rasa cinta kepada agama dan guru, murid biasanya membawakan ayam, ikan, beras, telor bahkan uang sebagai kompensasi hilangnya waktu Labay dalam mencari nafkah di luar.

Komunitaslah atau masyarakatlah secara ikhlash tanpa diminta bahu membahu secara bersama mengembangkan pendidikan ini. Tidak ada metode canggih yang digunakan kecuali cinta, keikhlasan dan kebersamaan dalam tumbuh kembang dalam bingkai-bingkai keimanan, ilmu yang bermanfaat serta akhlak yang mulia.

Satu-satunya teknik pendidikan adalah sorogan dan halaqoh serta terjun langsung di sawah dan di pasar. Di pendidikan seperti inilah lahir Ulama-ulama tangguh dan teruji zaman sekelas Prof DR. Hamka. Para pemimipin surau inilah ayah kolektif bagi para anak dan remaja. Ayah yang ulama dan ayah yang guru sekaligus pemimpin dalam keteladanan ilmu, iman dan akhlak. Melahirkan Local Leader.

Tapi sayang, terjadilah penetrasi budaya melalui kolonialisme budaya, perlahan tapi pasti membuat peran surau sebagai pembentuk jati diri “urang awak” mulai terkikis, hal ini sudah “diperingatkan” oleh budayawan Minang, almarhum Engku Ali Akbar Navis. Pada tahun 1956, AA Navis – nama pena beliau – menulis cerpen yang menghebohkan, “Robohnya Surau Kami” sebuah kumpulan cerpen sosio-religi.

Melalui cerpen ini, almarhum secara halus dan sangat berbudaya mengingatkan warga Minangkabau akan bahaya ‘kolonialisme budaya’ yang dapat menghancurkan (“merobohkan”) peran surau dalam pembentukan karakter masyarakat minang. Apa yang disinyalir oleh Engku Navis puluhan tahun yang lampau, kini menjadi kenyataan. Saat ini fungsi surau sebagai pembentuk karakter masyarakat minang, telah benar-benar “roboh”. Kolonialisme budaya, telah berhasil merubah persepsi warga minangkabau terhadap peran dan fungsi surau. Surau menjadi hanya sekedar tempat shalat semata, tidak lebih! 

Konsep Surau sangat luar biasa untuk membangun kepemimpinan dalam diri anak laki-laki pre aqil baligh - aqil baligh, karena membangun potensi yang ada dalam diri anak-anak, membutuhkan komitmen yang kuat untuk menggali dan membangun dari hari ke hari, dari waktu ke waktu, dan dalam setiap kesempatan yang ada, dalam hubungan yang kuat, dan sarat dengan penerimaan dan dukungan dari orang-orang terdekatnya, yaitu orang tua, guru dan lingkungan.

Di sinilah keunggulan konsep Pendidikan Surau. Menurut Stephan R. Covey, tingkat dasar dari Pyramid of Influence adalah Modelling, yaitu contoh atau teladan. Tingkat piramid berikutnya adalah hubungan, dan puncak piramid pengaruh adalah didikan atau pengajaran. Jadi, membangun kepemimpinan dalam diri anak-anak, adalah dengan cara  memberi dampak dalam diri mereka. Memberi dampak (Influencing) adalah suatu kemampuan yang dapat dikembangkan, yaitu dimulai dengan modeling, hubungan dan didikan. Inilah sejatinya yang dijalankan secara sederhana dalam konsep pendidikan surau.

Kembalikan Surau Kami, hanya kitalah yang bisa menghidupkan kembali surau/masjid menjadi sarana mendidik para calon imam keluarga yang tangguh. Ayo para Bapak, bergeraklah untuk anak laki-lakimu.




shared at WhatsApp family ODOJ1550
re-shared at lovelyboutcrazy.blogspot.com by Vee

No comments:

Post a Comment