Showing posts with label Anger. Show all posts
Showing posts with label Anger. Show all posts

Dec 8, 2014

Kutahan Amarahku, Suamiku

Suatu hari, dua orang wanita yang bersahabat saling bertemu dan bertukar cerita. Salah satu dari mereka lalu mengungkapkan rasa penasarannya bahwa sahabatnya terlihat sangat jarang sekali marah kepada sang suami, atas bagaimanapun perlakuan yang diterimanya. Lalu sang sahabat berkata,
"Ketika kemarahan itu sudah sampai di ubun- ubun, lalu aku masih menahannya dan mencoba tetap mendidik diriku untuk tetap mengingat, betapa jasanya yang dalam himpitan kesusahan, lelah dan penat, dia berusaha mencukupi nafkah untuk aku dan keluargaku. Dan tidak jarang pula, akhirnya dia melupakan perawatan atas dirinya sendiri. Aku seperti halnya kamu, adalah seorang wanita yang diciptakan lebih lemah dari pada lelaki. Dan saat kelemahanku itu hadir dan mengusik mereka, seribu satu kemakluman beliau hadirkan untuk tetap mengerti kekuranganku sebagai wanita. Terkadang keegoisan kami sama- sama datang, namun naluri mengalahnya atas perempuan manja yaitu aku, akan segera dimunculkan olehnya. Direngkuhnya aku dan terucaplah perkataan maaf. Dan, dari disanalah perdamaian kami tercipta. Dan kamipun semakin bertambah mesra. 
Tapi…. 
Tidak jarang pula, ketika rasa “keunggulannya” sebagai lelaki hadir dan membuatnya sedikit terbawa dalam ego, hal itu memang membuatku sedikit sakit hati, yah aku kan hanya manusia. Namun kesempatan itu tidak aku sia- siakan, aku tata batinku sedemikian rupa sehingga aku terlihat menyenangkannya dalam luasnya hatiku menerimanya. Aku yakin, Allah yang Maha melihat akan lebih ridho kepadaku saat itu. 
Saat tiada teman berbagi, dialah yang menyediakan pundaknya yang kuat untukku menangis. Kekuatan pikiran dalam logisnya dia berpikir, yang jelas- jelas memang lebih kuat dari pada aku, akhirnya memberi ruang bagiku sejenak untuk merasa nyaman dan terlindungi. Sekuat- kuatnya wanita didunia ini, tapi sesuai dengan fitrahnya, wanita tetap dan pasti akan merasa butuh diayomi oleh laki- laki.
Rasanya tiada teman yang paling pantas aku akrabi selain suamiku. Dan memang sebagai manusia biasa, dia tidak akan lepas dari kekurangan, seperti halnya aku. Lalu setelah semua itu aku sadari, untuk alasan apalagi aku harus menuntutnya menjadi sempurna? Dan dalam keterbatasan serta kekurangannya sebagai manusia, masih pantaskah aku menuntutnya untuk harus selalu berlaku dan memberi lebih kepadaku?
Dan bukan berarti aku merendahkan diriku sendiri atasnya, namun dengan kalimatku ini, aku mencoba sadar diri, betapa aku mempunyai banyak kekurangan sebagai wanita. Dan dia tetap memilih aku, dan memutuskan untuk menghabiskan sisa waktu hidupnya denganku, membimbing, mengayomi, dan menafkahi aku. Lalu berilah aku satu alasan, dari celah mana aku bisa tetap beralasan untuk tidak bisa menahan lidahku atas suamiku?"
Dengan menahan kemarahanku padanya, in sya Allah akan memberi gambaran jelas tentang diriku, istrinya, yang sebenar- benarnya. Jika aku selama ini belum dapat membuatnya bangga, mungkin saat inilah yang tepat bagiku mengukir kenangan yang dapat membanggakannya. Membuatnya bangga bahwa aku adalah istri yang dapat tetap mengertinya, bahkan dalam keadaan marah sekalipun. Setelah itu, aku yakin dia akan berkata pada hatinya, bahwa dia bersyukur telah meletakkan pilihan atas separoh hidupnya kepadaku.
Dan apakah kau tahu, bahwa suamiku adalah ladang amal yang In sya Allah akan membawa ku kepada surga Allah yang abadi. Keridhoannya adalah kunci pembuka pintunya, dan mengalah sedikit bukan berarti menjadi budaknya, namun sikap sabar itu yang justru akan memuliakan kita dihadapannya.
Maka, aku belajar untuk tidak merelakan hidup dan hatiku diatur oleh rasa. Rasa amarah, rasa benci, dan apapun yang justru akan membelokkan fokusku dari menghimpun pahala dari sang maha kuasa. Maka dari itu pula, aku ingin mencintai suamiku karena Allah. Hanya karena Allah saja. Jadi setiap kali aku marah kepadanya, aku akan kembali mengingat Allah dan mengingatnya hanya sebatas manusia yang penuh dengan kekurangan, seperti halnya aku. Hal itu yang menjauhkanku dari penghakiman apapun atas suamiku. Setelah itu, betapa hanya keteduhan yang akhirnya memenuhi hatiku, dan hilanglah amarahku."
Dari Ibnu Umar ra. berkata, Rasullullaah SAW. Bersabda,
“Setiap orang di antaramu adalah penanggung jawab dan setiap orang diminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya, seorang imam adalah penanggung jawab atas umatnya, ia diminta tanggung jawab atas kepemimpinannya, seorang suami penanggung jawab atas keluarganya, ia diminta tanggung jawab atas kepemimpinanya, seorang istri penanggung jawab atas rumah tangga suaminya (Bila suami pergi), ia diminta tanggung jawab atas kepemimpinanya.“ 
( HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi )
Semoga bermanfaat dan menjadi hikmah.




shared at WhatsApp family ODOJ1550
re-shared at lovelyboutcrazy.blogspot.com by Vee

Nov 26, 2014

Marah dan Sel Otak

SUATU hari, saya menerima kabar bahwa terjadi masalah di sekolah. Kejadiannya, seorang anak marah hingga melukai temannya. Hari itu juga saya bertanya kepada guru bagaimana hal itu bisa terjadi. Lalu keesokan harinya saya berbicara dengan orangtua. Ternyata setelah diajak bicara, mama anak ini mengakui bahwa ia sama seperti anaknya selalu marah jika menyikapi sesuatu yang kurang atau tidak sesuai dengan keinginannya . 
Contohnya ketika lantai baru saja di pel, kemudian anaknya menginjak lantai yang masih basah, langsung mama marah besar, “Aduh…kamu ini bagaimana sih, ngepel itu capek tau, sekarang kotor lagi kamu injak. Mama bilang tunggu di luar sampai lantainya kering,” tandasnya, dengan volume suara yang sangat keras.
Saya juga baca status seorang anak pada salah satu jejaring sosial. Isinya, “Aku mau bunuh diri aja. Di sekolah dimarahi guru. Di rumah dimarahi mama, aku memang gak berguna.” Naudzubillah. 
Suatu waktu saya bersama dengan anak yang dicap oleh orang dewasa di sekitarnya “anak bodoh”. Dia menangis sambil berkata kepada mamanya, “Mama kenapa semua orang di rumah ini marah-marah ke aku? Aku tidak suka dimarahi! Bagaimana caranya supaya orang tidak marah, Ma?” 
Mamanya sedih dan hanya bisa diam membisu mendengar pertanyaan anaknya. 
Pada suatu saat, teman saya, seorang psikolog, memberikan tes pada seorang anak, anak ini diberi sebuah kartu olehnya dan ditanya, “Kira-kira ini gambar apa ya?“. Jawabannya, “Gambar monster, Bu”. Setelah kegiatan selesai, ia memberi penjelasan. Ternyata kartu itu mewakili sosok papa. Artinya papa bagi anak ini adalah sosok monster yang sangat menakutkan. Karena setiap papa pulang bekerja, bukan kehangatan yang diterimanya, melainkan perlakuan tidak baik. Papa berkata, “Sana main di luar, jangan berisik disini, papa capek baru pulang kerja,” dengan nada ketus dan suara keras.

Dari beberapa peristiwa di atas, sepertinya hari-hari yang dilalui oleh anak-anak ini dipenuhi dengan nuansa kemarahan. Tahukah wahai para orangtua dan guru? Penelitian mutakhir mengatakan bahwa setiap bayi baru dilahirkan, memiliki milyaran sel otak. Anak yang cerdas adalah anak yang memiliki banyak sambungan antara sel otak yang satu dengan sel otak lainnya.

Ibu yang juga seorang peneliti, melakukan penelitian perkembangan otak bayinya sendiri. Sebuah alat khusus dipasang di kepala bayinya. Kemudian alat itu dihubungkan dengan kabel-kabel komputer. Sehingga dia bisa melihat pertumbuhan sel otak anaknya melalui layar monitor. Ketika bayinya bangun, dia memberikan ASI. Ketika bayinya minum ASI , dia melihat gambar-gambar sel otak itu membentuk rangkaian yang indah. Ketika sedang asyik menyusui, bayi yang berusia 9 minggu itu, tiba-tiba menendang kabel komputer. Si ibu kaget dan berteriak, “No”!

Teriakan si ibu membuat bayinya kaget. Saat itu juga, si ibu melihat gambar sel otak anaknya menggelembung seperti balon, membesar dan pecah. Kemudian terjadi perubahan warna yang menandai kerusakan sel.

“Mungkin kesedihan ini hanya saya yang menanggungnya. Sebagai ibu dan sekaligus sebagai scientist, saya menyaksikan otak anak saya hancur oleh teriakan saya sendiri, ibunya,” tukas Lise Eliot, PhD, seorang Neuroscientist di Chicago Medical School dalam bukunya What’s Going On in There? How the Brain and Mind Develop in The First Five Years of Life (Bantam, 2000).

Nah, apa yang terjadi jika seorang anak setiap detik, menit, jam dan hari-hari yang dilaluinya selalu dipenuhi dengan pelototan, teriakan, apalagi ditambah amarah? Tak terbayangkan berapa jumlah sel otaknya yang akan mati akibat perlakukan buruk orang dewasa di lingkungannya.

Masih kah kita akan marah pada anak-anak kita?
-Widianingsih MAg-




shared at WhatsApp family ODOJ1550
re-shared at lovelyboutcrazy.blogspot.com by Vee