Feb 20, 2015

Istiqomahan dalam keikhlasan

Pesan yang ada di dalam surah An-Naas dan Al-Falaq
  1. Surah An-Naas : Kita berlindung kepada Allah dengan menyebut tiga sifat-Nya (Rabb/ pengatur/pembimbing, Malik/raja, ilaah/sesembahan) untuk satu faktor internal yang ada di dalam diri kita, yaitu hati.
  2. Surah Al-Falaq : Kita berlindung kepada Allah dengan satu nama-Nya (Rabb Yang Menguasai Shubuh),  dari tiga faktor luar di dalam diri kita yang Dia ciptakan,  (dari malam yang mencekam, dari penyihir, dan dari kejahatan pendengki)

Artinya tantangan yang ada di dalam diri kita, sebetulnya jauh lebih besar dari tantangan yang ada di luar. Itu sebabnya untuk apa yang ada di dalam diri, yakni hati, kita berlindung dengan tiga nama-Nya, yakni sebagai Rabb, Malik, dan Ilaah. Padahal untuk sejumlah tantangan di luar diri kita, kita cukup berlindung dengan satu nama-Nya yakni Dzat Yang Menguasai Shubuh. Oleh karena itulah ia menjadi sangat penting. Karena ia adalah panglima bagi diri kita.
Idza shalahat shalahal jasadu kulluh
Wa idza fasadat fasadal jasadu kulluh
 Apabila ia baik, maka baik seluruhnya
Apabila ia buruk, buruk seluruhnya
Kebahagiaan letaknya ada di sana. Ada di hati. Ada pada hati yang teguh mengimani qadha dan qadar. Ada pada hati yang qanaah atas rezeki yang ia terima. Ada pada hati yang syukur dan sabar. Ada pada hati yang lapang. 

Ada satu nasihat dari seorang ulama, pimpinan pondok pesantren yang selalu saya ingat:
"Lapangkanlah hatimu, Lapang, selapang sabana (padang rumput nan luas). Sekalipun disana ada gajah, jerapah, macan, dsb. Niscaya sabana itu akan tetap luas. Tetapi jika hati kita sempit. Sempit, sesempit kamar-kamar tidur kita. Jangankan seekor jerapah. Seekor ayam sudah bisa membuatnya menjadi sempit. Luaskanlah hatimu. Luas, seluas samudera. Walaupun sampah-sampah itu masuk melalui muara, niscaya air samudera itu tetap bening. Tetapi jika hati kita sempit. Sempit, sesempit air di dalam gelas. Jangankan sampah dari sungai, setetes tinta sudah bisa membuatnya keruh. Dan hati yang lapang itu, bisa kita dapat dengan berdzikir. Alaa bi dzikrillahi Tathma'innu al-qulub (Hanya dengan mengingat Allah hati akan menjadi tenang.)"
Ketenangan yang dimaksud adalah ketenangan hakiki. Ketentraman ketika kita "dipeluk" oleh barakah Allah SWT. Diterangi oleh cahaya Dia yang tidak pernah redup tersebab kita senantiasa berdekat-dengan dengan-Nya. Ada satu kisah menarik mengenai cara mendekat kepada-Nya, yakni dengan memiliki amal-amal rahasia.

Seperti yang dicontohkan oleh Ali bin Hussein yang memanggul karung berisi gandum di atas pundaknya setiap malam. Gandum-gandum itu ia bagi-bagikan kepada fakir miskin di kegelapan tak bercahaya karena ingin hanya dia dan Allah yang tahu. Orang-orang miskin pada masa itu tidak ada yang tahu, siapa yang selama ini senantiasa membagi-bagikan gandum kepada penduduk di tengah gelap. Maka ketika Ali bin Hussein meninggal, bantuan itu terhenti. Barulah penduduk madinah tahu bahwa selama ini yang membagi-bagikan gandum adalah ia. Bahkan, diceritakan ketika Ali bin Hussein meninggal, terlihatlah di punggungnya bekas-bekas guratan karena memikul karungan gandum ke rumah orang-orang miskin.

Demikianlah menjaga hati. Sedemikian sulitnya hingga kita perlu punya amal-amal rahasia. Biarkan "hanya aku dan Allah" yang tahu. Sebagai bekal di akhirat kelak. Karena siapa yang tahu, khawatir amal-amal yang lain ternoda oleh ketidakikhlasan. Ikhlashul ubbad, ikhalsul muhibbin fan ikhlasul  muqarabin adalah kombinasi perspektif ikhlash menurut syaikh ibn Ata'illah Assakandary dengan Syaikh Abdurrahman shiddiq al-banjari.

Ikhlashul ubbad adalah seseorang beribadah kepada Allah dengan mengharapkan pahala, surga, ampunan, dan balasan-balasan lainnya.
Ini adalah ikhlasul ubbad atau ikhlashnya para hamba. Allah tahu bahwa manusia bersifat pamrih, maka ketika mereka berbuat kebaikan atau beribadah, Allah berikan pada mereka apa-apa yang mereka ingini sekalipun Allah tak butuh itu. Seperti sesiapa membangun masjid di bumi maka Allah  akan bangunkan baginya istana di surga. Barang siapa membaca Al-Quran maka pada tiap hurufnya 1 kebaikan bermisal 10 kebaikan, dst. Sesiapa berinfaq maka Allah akan balas 700x lipat. Sesiapa beribadah kepada Allah dengan motivasi-motivasi tersebut, maka ia termasuk ikhlash, yakni ikhlashnya para hamba.

Ikhlashul muhibbin yaitu ikhlashnya para pecinta Allah. 
Siapa mereka? Mereka adalah orang-orang yang beribadah kepada Allah, tetapi semuanya hanya karena Allah. Bukan karena yang lain. Mereka beribadah sudah tak lagi pikirkan surga atau pahala-pahala, tapi semata-mata karena sifat kehambaan dan cinta mereka kepada Allah. Semua mereka lakukan hanya karena Allah. Karena jika mereka sudah mendapatkan Allah, semua kenikmatan tak lagi ada artinya. Jika Allah sudah cinta dan ridha, tentulah surga, pahala, dsb tinggal mengikuti. Bukankah pada kenikmatan perjumpaan dengan Allah kelak, nikmatnya surga seakan tak pernah dirasa?

Ikhlasul muqarrabin yaitu ikhlashnya orang-orang yang dekat dengan Allah. 
Mereka beribadah, tetapi menyadari bahwa ibadah mereka bukan karena dirinya. Tapi semata karena kasih sayang Allah kepadanya. Ketika ia shalat tahajjud ia sadari itu karena rahmat Allah. Karena sekiranya Allah tak memudahkan tentu terasa berat ia melangkah tahajjud. Ketika ia berinfaq ia sadari itu hanya karena Allah, karena jika Allah tak memudahkan tentu berat baginya berinfaq. Ketika ia berdzikir ia sadari itu semata hanya karena Allah, karena jika Allah tak rahmati tentu berat terasa lisan akan berdzikir.
Itulah ikhlashul muqarrabin, menyadari kelemahan diri dalam beribadah. Menyadari kehambaan. Menyadari bahwa semua ibadahnya tak berarti. Sebab semua itu sungguh hanya karena rahmat Allah. Sedang dirinya hanyalah hamba yang lemah. Ikhlash inilah yang akan membawa nikmat pada keistiqamahan. Mengajak pada kesadaran bahwa segala amal tak berarti di hadapan-Nya. Ikhlash ini akan jauhi kita dari penyakit-penyakit hati. Sebagaimana dibahas oleh syaikh Abdurrahman Shidiq Albanjari. Seperti riya.

Riya itu ada dua macamnya : 
Riya jaali yakni riya yang terang-terangan
Seseorang melakukan ibadah karena ada orang lain yang melihatnya. Tetapi saat tidak ada orang lain yang melihatnya maka ia tak lakukan amal itu. Ia shalat di masjid ketika ada tamu, padahal ketika tidak ada tamu ia shalat di rumah. Patutlah ia bercermin jangan-jangan ia ke masjid bukan karena Allah, tapi karena ada tamunya.

Riya khaafii adalah riya yang tersembunyi
Yakni seseorang beribadah kepada Allah, baik ketika ada orang yang melihatnya, maupun tak ada orang lain yang melihatnya. Akan tetapi di dalam hatinya ada kecenderungan, ia merasa senang sekiranya ibadahnya itu diketahui oleh org lain. Ia tahajjud, baik ketika ada tamu, ada acara mabit, atau sendiri di rumah. Ia berinfaq, baik ada orang maupun ketika tak ada orang. Ia puasa sunnah, baik orang tahu ataupun tidak. Tapi di harinya ada kecenderungan merasa senang, seandainya orang lain tahu ibadah-ibadah dia itu. Itulah riya khaafii, riya yang samar. Yakni keinginan agar orang lain tahu betapa ia telah beramal sembunyi-sembunyi. 

Selain riya adalah sum'ah
Yaitu seseorang melakukan amal ibadah, kemudian menceritakan amalan itu kepada orang lain agar mendapatkan kebesaran diri. Seperti seseorang yang hendak tidur, ia digoda syetan agar tak wudhu dulu. Maka ia lawan. Ia ambil widhu sebelum tidur. Lalu ia digoda syetan agar tak shalat sunnah, maka ia lawan syetan tersebut dan dirikan shalat sunnah. Lalu ia digoda syetan agar tak membaca doa, maka ia lawan dan ia doa dulu sebelum tidur. Lalu ia bangun jam 2.30 untuk shalat tahajjud, Ia digoda syetan agar tak bangun. Ia lawan dan ia bangun. Ia digoda syetan agar wudhu tak sempurna, ia lawan. Ia digoda syetan agar tahajjud tak khusyu'. Ia lawan. Lalu ia berdzikir menanti shubuh. Ia pun mendapatkan ketenangan karena telah berkali-kali lawan syetan.
Pagi harinya ia ke kantor atau kampus, tadinya ia tak ingin cerita. Tapi syetan menelusup halus. Ia ceritakan betapa nikmat tadi malam saya tahajjud, hati ini terasa damai, teduh. Lalu muncullah bersamaan dengan cerita itu keinginan untuk mdapatkan kebesaran diri, maka itulah sum'ah. Hilanglah pahala tahajjudnya. Padahal ia telah melawan syetan berkali-kali sejak sebelum tidur, tapi ia kalah di garis finish. Demikianlah syetan menelusup halus bekerja dalam senyap. 

Dan terakhir setelah sum'ah, adalah ujub.
Yaitu seorang ahli ibadah, merasa bangga dengan ibadahnya. Seakan ia sudah dekat dengan Allah. 
Padahal seseorang yang dekat dengan Allah justru selalu merasa bahwa dirinya masihlah kotor. Penuh kehinaan di hadapan Allah. Ibadahnya belumlah sempurna. Atau termasuk ujub yaitu seorang 'alim merasa bangga dengan ilmunya. Padahal semakin berilmu semestinya semakin tawadhu', karena semakin banyak yang ia tahu, ia akan sadar bahwa banyak sekali yang ia belum tahu. Ujub adalah penyakit hati. Ia bisa dikikis dengan menjaga keikhlashan.
~Ustad Sigit kamseno~




shared at WhatsApp family ODOJ1550
re-shared at lovelyboutcrazy.blogspot.com by Vee

No comments:

Post a Comment