Nov 3, 2011

[cerpen] 7 Years of Love (Part3)

the last part, begin..

_Revan's PoV_

Akhirnya permintaanku untuk dipindahkan ke kantor cabang di kotaku dikabulkan juga oleh atasan. Sudah dua bulan aku bekerja dengan orang-orang baru. Aku sudah mulai mengenal karakter mereka, bagaimana mereka bekerja, bercanda, dan lain-lainnya.
Tetapi ada seseorang yang keberadaannya sedikit mengagetkanku, mas Putra atau sekarang aku menyapanya pak Putra. Dia menjadi atasanku sekarang. Saat pertama kali bertemu dengannya di kantor, jantungku berdebar kencang dan kaku seketika, bukan karena dia adalah atasanku tapi lebih karena dia adalah kakak laki-laki Vian. Dan lagi, dia masih mengenaliku sebagai teman Vian. Aku kira dia tak akan mengenaliku karena pertemuan yang singkat waktu itu.
Karena sudah 'saling mengenal', kami menjadi cepat akrab selain masalah pekerjaan tentunya. Tak jarang pula aku datang ke apartemennya, menyelesaikan pekerjaan bersama atau hanya sekedar berkunjung. Dari dia jugalah aku menjadi lebih banyak tahu tentang Vian.
Dia juga pernah bertanya apa motivasiku menemani Vian saat reuni sekolah waktu itu. Aku hanya bisa tersenyum dan menjawab singkat, "Teman.".

Hari ini ulang tahun Hara, aku berencana pulang awal dari kantor. Karena mas Putra tak suka seseorang yang menyepelekan tugasnya, aku pun harus menyelesaikan semua pekerjaan kantor ku hari itu terlebih dahulu. Setelah semua beres barulah aku diizinkan untuk pulang. Inilah yang membuatku tambah senang pindah ke kantor cabang di sini, tak seperti di kantor pusat yang mengharuskan standby di kantor yang terkadang hanya membodo tanpa melakukan pekerjaan apa-apa dan masalah perizinan susahnya minta ampun. Bersyukur aku bisa pindah kemari, selain suasana kantor yang enak aku juga tak perlu jauh-jauh dari mamah.

Waktu menunjukkan pukul 11 tepat. Satu jam lagi Hara pulang, dan acara akan segera dimulai. Setelah mengganti kemeja dan celana kainku dengan kaos dan jeans akupun segera pergi menuju rumah Hara, sepupu kecilku. Hari ini dia genap berusia 7 tahun. Aku diminta tante Eni menggantikan Reza, sepupuku, menjadi MC karena dia mendadak harus mengurus surat-surat keperluan pertukaran pelajar ke Jepang hari ini oleh fakultas.

Hanya butuh waktu 30 menit untuk sampai di rumah tante Eni. Sesampainya di sana, aku melihat sedan biru yang aku tahu itu bukan milik om Wiguna atau tante Eni.
'Sudah ada tamu yang datang?' tanyaku dalam hati.
Aku pun berjalan masuk ke dalam rumah langsung menuju dapur membawa bingkisan yang sudah u persiapkan untuk Hara.
'Eh, siapa itu? Klo dari perawakannya bukan mbak Susi. Apa pembantu baru? Tapi pakaiannya...' aku bertanya-tanya setelah melihat sosok wanita baru di rumah tante Eni dari kejauhan.
Semakin mendekati dapur, siluet tubuhnya semakin familiar di benakku walau ia terus membelakangiku. Aku menyapa tante Eni yang masih sibuk dengan persiapan ulang tahun Hara. Sesaat sebelum beliau pergi, aku menanyakan siapakah sosok yang sedari tadi membuatku penasaran. Tante Eni pun memanggilnya.
"Vian kemari." Apa?! Namanyanya Vian? Apa dia Vian yang kukenal?
"I.. I.. Iya, Bu." Suaranya terdengar gugup. Tapi walaupun begitu aku semakin merasa mengenalinya mulai dari siluet dan juga suaranya. Keanehannya berjalan menunduk membuatku bertanya-tanya.
"Kenalkan, ini ponakan saya Revan." tante Eni memperkenalkan kami.
"Vian." jawabnya singkat sembari mengulurkan tangannya menyambut tanganku.
Saat kami bersalaman, kepalanya tetap menunduk dan tangan kirinya menutupi sebagian wajahnya. Aku yang semakin penasaran dibuatnya berusaha mencari-cari celah memastikan apakah benar dia adalah Vian yang kukenal. Kepergian tante Eni ke kamar memberikan kesempatan bagiku untuk mencoba menyibakkan rambutnya dari wajahnya. Tapi sayang, Hara tiba-tiba datang dan membuyarkan fokusku terhadapnya. Ia segera melepaskan genggaman tanganku dan pergi menjauh entah kemana. Karena Hara dan teman-temannya sudah datang, akupun mulai memandu acara ulang tahun Hara. Acara dipenuhi dengan gelak tawa dan keceriaan anak-anak yang senang dengan games serta candaan yang aku buat. Bahagia yang mereka rasakan seperti mengalir juga didiriku, senang rasanya bisa berbagi kebahagiaan bersama mereka.
Acara selesai sekitar 2 jam kemudian, diakhiri dengan foto-foto bersama. Memberikan suatu bukti kebahagiaan yang pernah ada saat ini, sebuah momentum yang akan menjadi suatu cerita di kemudian hari.

_Revan's PoV end_

_______#####_______

Revan baru teringat kembali dengan Vian setelah teman-teman Hara pulang.
'Kemana dia tadi, tak ada muncul sama sekali setelah menghilang menghindariku.' pikir Vian sembari mencari keberadaan Vian di sekitar rumah.
"Mbak, Vian ada di mana sekarang?" Revan seketika bertanya ke pada mbak Susi yang berpapasan dengannya di dapur.
"Mbak Vian yang bantu-bantu tadi ya, Mas?"
"Iya." jawab Revan cepat.
"Tadi sih terakhir nemuin ibu di depan nganterin piring-piring kue, Mas, abis itu gak ada balik-balik lagi ke dapur." terang mbak Susi
"Oh, gitu. Makasih yah, Mbak." Revan memberikan senyuman khasnya kepada mbak Susi.
"Iya, sama-sama, Mas." mbak Susi pun kembali sibuk dengan pekerjaannya. Dan Revan pun beranjak mencari tante Eni, segera menanyakan keberadaan Vian.
"Tante, Vian ke mana?" Revan to the point menanyakan keberadaan Vian setelah menemukan tante Eni bersandar di sofa ruang keluarga bersama Hara tersenyum riang di pangkuannya.
"Vian?! Udah pergi tadi."
"Ke kantor?"
"Gak. Kenapa?" mata tante Eni menatap jelas ke arah Revan.
"Gak kenapa-kenapa sih, Tante. Cuma penasaran aja dia ke mana." Kekecewaan terlihat di wajahnya.
"Vian, siapa sih Bunda?" Hara tiba-tiba nyeletuk ingin tahu.
"Pegawai Ayah di kantor, Sayang. Kenapa? Hara juga mau nyari mbak Vian?"
"Gak, Bunda. Hara aja gak tau orangnya yang mana." Hara menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Barbie yang kamu pegang itu dari mbak Vian loh."
"Ah, yang beneran Bunda?"
"Iya, masa Bunda boong."
"Ih, baiknya. Mbak Vian tahu aja kalau Hara suka barbie." Hara memeluk erat barbie di tangannya.
"Jadi, si Vian ke mana Tante kalau gak ke kantor?"
"Ya mana Tante tahu. Dia cuma bilang kalau ada urusan penting yang mendadak harus di urus. Kamu kenapa sih nanya-nanya Vian terus, kamu suka yah sama dia?"
"Eh, jangan-jangan yang salaman sama mas Revan di dapur tadi itu ya mbak Vian yang di maksud?" Hara kembali nyeletuk.
"Kamu liat mereka masih salaman setelah Bunda gak ada, Sayang?"
"Iya, Bunda. Mata mas Revan kayak mata elang loh liatin mbaknya yang lagi nunduk itu, tajem dan fokus." Hara mempraktekkan tatapan mata Revan pada Vian saat salaman dengan berlebihan yang membuat dirinya sendiri dan Bundanya tertawa.
"Ih, anak kecil ini sok tahu." Revan mencubit pipi chubby Hara.
"Kalau kamu gak suka, kenapa pengen tahu bener dia ke mana?"
"Bukan gitu, Tante. Aku penasaran, dia itu kayak temen SMA aku. Siluet tubuhnya dan suara sama. Cuma karena dia nunduk terus jadinya aku gak bisa mastiin, beneran temen aku atau bukan."
"Loh, kalau beneran temen SMA kamu kenapa dia harus nunduk dan pura-pura gak kenal gitu?!"
"Nah itu juga yang bikin aku tambah penasaran, Tante."
"Halah, mas Revan boong tuh Bunda. Ngaku-ngaku temen SMA mbak Vian padahal baru kenalan tadi tuh. Mas Revan jatuh cinta pada pandangan pertama tuh Bunda. Cieee..." Hara terlihat senang bisa mengejek sepupu tersayangnya ituh.
"Ih, anak satu ini..." Revan gemas melihat Hara yang mengejeknya seperti itu, dia pun mengkitik-kitik pinggang Hara, membuatnya kegelian.
"Kamu beneran gak suka, Van?!"
"Suka apa sih? Kan belum jelas itu temen akau atau bukan." Revan berhenti mengkitik-kitik Hara.
"Kalau beneran temen kamu, kamu suka?"
"Gak tau juga, Tante."
"Loh kok gitu?" tante Eni menatap Revan bingung, jawaban ponakannya itu tak jelas apa maksud sebenarnya.
"Ya gitu deh, Tante." Revan beranjak dari sofa, "aku pulang yah."
"Baiklah, hati-hati di jalan. Salam tuk mamah papah yah." tante Eni dan Hara ikut melangkahkan kaki ke luar rumah.
"Baik, Tante. Selamat ulang tahun Hara." Revan masuk ke mobilnya
"Makasih, Mas. Dadaaah.." teriaknya sambil melambaikan tangannya.
"Dadaaaaaa..." Revan membalas.

_______#####_______

Dua minggu berselang, Revan pun sudah memastikan bahwa Vian yang ditemuinya waktu itu adalah temannya. Ia melihat Vian yang sedang sibuk mengetik berkas penting ketika dia berkunjung ke kantor om Ian. Revan tak berani menyapa Vian, ia tak ingin kejadian yang lalu berulang. Ia hanya menatapnya dari kejauhan. Padahal di dalam hatinya, ia sangat ingin tahu apa alasan Vian menghindarinya. Tapi ia tahan semua keinginan itu di dalam hatinya, ia tak ingin mengganggu Vian yang disibukkan dengan pekerjaannya yang mungkin sudah masuk waktu deadline. Revan pun bertekad di dalam hatinya, dia akan menemui Vian menanyakan alasan dibalik penghindaran yang dia lakukan.

"Hoaaaam.. Ngantuknya. Badanku pegel semua." Vian masih terbaring di atas kasurnya, memukul pelan bagian-bagian tubuhnya yang terasa sakit. "Beberapa hari lembur bikin ngantuk dan capek. Bersyukur hari minggu dateng juga. Its time to relax." ia tersenyum sambil merentangkan tangannya.
Ingin rasanya tidur lagi, tapi sinar matahari pagi di luar sana sudah sangat terik. Membuat Vian tak bisa menutup matanya lagi, terpaksa ia turun ke lantai bawah.
"Loh, Bunda mana? Di dapur gak ada, pekarangan juga gak ada. Ke pasar kah?! Tapi mobilnya ada. Haa, pasti pergi ma tante Sulam lagi deh. Keasyikan tuh Bunda ditebengin mulu."
Melihat di atas meja hanya ada roti bakar. Dia pun beranjak ke dapur, membuat omelet dan nasi goreng. Lapar menyerangnya seketika. Setelah semuanya beres, ia pun membawanya ke ruang keluarga, melahap semuanya sambil menonton kartun minggu pagi.
Sesaat setelah kelar mencuci peralatan makan yang kupakai, Bunda datang membawa belanjaan di kedua tangannya.
"Kamu udah bangun?"
"Udah donk."
"Oh iya, selamat ulang tahun ya, Sayang." Bunda mengecup dahi serta pipi Vian.
"Ulang tahun?! Emang hari ini tanggal berapa sih?" Bingung dengan ucapan Bundanya yang mendadak.
"6 November donk, Sayang."
"Ah, masa sih." masih tak percaya.
"Emang kamu lahir tanggal berapa? Kalau gak tanggal 6. Efek sibuk tuh makanya gak inget ulang tahun sendiri."
"Sepertinya begitu." Vian nyengir. "Makasih ya, Bunda." Vian membalas kecupan Bundanya.
"Btw, kamu udah sarapan?"
"Barusan kelar, tuh aku baru kelar nyuci piring ama gelasnya." menunjuk rak piring.
"Bagus."
"Bunda mau masak apa?"
"Ayam goreng, sambal goreng ati sama cah sayuran. Kenapa?"
"Gak kenapa-kenapa. Aku pikir bakalan makan di luar bareng mas Putra."
"Masmu gak mau. Bosan katanya makan di luar terus, pengen makan masakan Bunda."
"Ih, manja. Siapa suruh tinggal di apartemen nun jauh di sana."
"Eh, gak boleh gitu. Itu kan masmu lakuin juga demi pekerjaan."
"Iya deh, iya. Aku gak bantuin masak yah, Bunda. Mau nelpon mas dulu minta kado. Hehehe."
"Iya, gak apa-apa." Bunda tersenyum, "Eh, kamu udah mandi belum?"
"Entar aja. Masih males." melangkah mantap kembali ke ruang keluarga.
"Mandi dulu, masa anak cewek tiap hari minggu mandinya siang mulu."
"Gak apa-apa donk Bunda. Kan cuma sehari doank."
"Nanti kalau ada yang nyariin gimana?"
"Gak akan ada. Siapa juga yang nyariin aku dihari minggu, pagi-pagi kayak sekarang lagi. Gak mungkin Bunda. Kalaupun ada itu pasti urgent banget dah." mengambil gagang telepon di samping kursi.
"Eh, mana tahu."
"Ih, Bunda ngeyel. Udah ah aku mau nelpon mas dulu." setelah memencet-mencet nomor tujuan, Vian pun duduk tenang sambil menunggu jawaban dari mas Putra.
'Hallo..' sapa suara di seberang
"Hallo. Mas, ini aku Vian."
'Ooo, kamu toh Dek. Selamat ulang tahun ya adekku sayang. Hope all the best for you.' ucapnya mantap.
"Makasih,Mas. Aku minta kado donk."
'Kado?! Kado apa?'
"Terserah deh. Pokoknya aku mau kado dari mas."
'Hmm, kalau terserah mas. Sepertinya kadonya lagi otw neh sekarang.'
"Otw?! Mas udah nyiapin dan lagi jalan menuju rumah?" Vian terlihat girang.
'Iya, ini mas mau jalan.'
"Asyik. Aku tunggu mas di rumah yah." Vian terlihat senang, "hati-hati di jalan ya, Mas. Muuuach."
'Muuach.' telepon pun ditutup. Vian tak sabar menunggu hadiahnya datang.

Ting tong.. Ting tong..
"Sayang, buka pintunya." teriak Bunda dari dapur.
"Aku lagi mandi Bunda." balas Vian dari kamar mandi.

Ting tong.. Ting tong.. Bel di pencet lagi.
"Permisi.." terdengar suara cowok dari luar.
"Sebentaaaar." jawab Bunda. Bunda pun bergegas membuka pintu, "oh, nak Revan. Ada perlu apa?"
"Mau ketemu Vian, Tante. Viannya ada?"
"Ada. Lagi mandi dianya. Ayo masuk dulu."
"Gak usah, Tante. Revan tunggu di luar aja. Mau mencari kehangatan matahari pagi."
"Baiklah kalau begitu. Tante panggilin Vian dulu."
"Baik, Tante." Bunda pun masuk ke dalam.
"Sayang, ada yang mau ketemu kamu tuh." Bunda memberi tahu saat melihat Vian turun dari kamarnya.
"Ketemu aku? Urusan apa Bunda?"
"Ya mana Bunda tahu."
"Yang nyariin siapa namanya?"
"Revan."
"Revan yang mana?"
"Liat aja sendiri di depan. Sekalian nih bawain minumannya."
"Baiklah, Bunda."
'Revan?! Revan siapa pagi-pagi gini nyariin aku? Aneh.'
Vian pun berjalan menuju teras, mengantarkan minuman untuk sang tamu yang kata Bunda ingin bertemu dengannya. Betapa terkejutnya Vian saat dia melihat tamu yang dimaksud. Untung pertahanannya cukup kuat untuk menahan nampan minuman agar tak terjatuh saking kagetnya.
"Revan?!" dahi Vian berkerut.
"Hai, Vi." mengulurkan tangannya sembari tersenyum, "Selamat ulang tahun ya."
"Hmm, makasih." Vian menjawab dingin, uluran tangan Revan pun tak dibalasnya. Ia bahkan akan melangkah masuk ke dalam lagi.
"Vi.." Revan menahan tangan Vian untuk tidak menghindarinya lagi. "Ada yang ingin aku bicarakan."
"Bicara aja sendiri. Aku gak mau denger."
"Vi, kumohon. Sebentar aja."
"Gak." Vian kemudian mengangkat tangannya yang di genggam Revan, "lepaskan!" perintahnya.
"Gak akan, sebelum kamu janji mau dengerin dan jawab pertanyaan aku." Revan memberi syarat.
"Anak kecil." lirih Vian.
"Kamu kenapa sih bersikap dingin ke aku tanpa alasan yang jelas."
"Gak ada apa-apa."
"Sikap kayak gini kamu bilang gak ada apa-apa?! Aku tahu yang di rumah tante Eni itu kamu, udah jelas-jelas menghindar masih bilang gak." Revan melepaskan tangannya, "Vi, kumohon jelasin. Kalau memang alasannya wajar aku akan terima."
"Aku gak suka liat muka kamu."
"Gak suka?!"
"Iya, gak suka."
"Sejak kapan?"
"Itu rahasia aku, kamu gak perlu tahu."
"Vi, aku sayang kamu." Revan mengucapnya mantap saat Vian mulai melangkah masuk lagi.
"Sayang? Aku?! Sejak kapan?" Nada Vian mengejek.
"Vi, aku serius."
"Aku gak suka kamu, serius." kembali melangkahkan kakinya.
"Vi..." Revan memeluk Vian dari belakang, di dekapnya tubuh Vian dalam pelukannya.
"Van, lepasin aku."
"Gak mau, sebelum kamu ngutarain alasan sebenarnya."
"Suka maksa yah kamu. Cepet lepasin, aku gak mau Bunda salah paham kalau dia ngeliat kita seperti ini."
"Tante gak akan salah paham."
"Sok yakin banget."
"Please, Vi..."
"Kamu beneran sayang ama aku?"
"Hmm.." Revan mengangguk pasti.
"Cuma aku yang ada di hati kamu saat ini?"
"......."
"Gak yakin kan?! Aku tahu itu."
"Maksud kamu?"
"Kamu masih sayang sama Angel kan? Sampai saat ini hanya ada Angel di pikiran dan hati kamu. Makanya kamu gak bisa jawab pertanyaan aku." Revan lemas, pelukannya terlepas seketika, "Asal kamu tahu Van, dulu aku sangat menyayangimu, sejak kita pertama kali bertemu. Aku melihatmu saat pendaftaran sekolah. Sejak itu aku diam-diam menyukaimu, menyukai secara keseluruhan dirimu. Walau kita hanya setahun di kelas yang sama, tapi keisenganmu tak pernah berhenti hingga 3 tahun kebersamaan kita di SMA. Aku juga kaget saat kamu curcol tentang mantanmu di SMP. Gak pernah nyangka bakalan jadi tempat curhat kamu waktu itu..."
"Vi, cukup.."
"Aku belum selesai cerita, Van." Vian mulai meneteskan air mata, "Dan kamu tahu, saat aku mendengar rencanamu untuk kuliah di luar kota, aku sedih Van. Dan karena itu, aku kehilanganmu untuk beberapa tahun. Hanya tahu kabar dari postingan blog yang kamu buat."
"Kamu baca blog aku?" Revan tak percaya.
"Cukup sering, sampai postingan terakhir yang membuka mata aku bahwa kamu masih sayang dan cinta sama Angel, bahkan setelah dia menjadi milik orang lain. Karena postingan itu, aku bertekad untuk melupakanmu, melupakan rasa sayang yang aku pendam di dalam hati selama 7 tahun mengenalmu. Sakit dan susah memang, tapi aku akan mencoba. Itulah mengapa aku tak ingin melihatmu, karena setiap kali aku melihatmu, setiap kali itu juga aku mengingat rasa sakit yang ku rasakan mengetahui betapa orang yang ku sayangi memiliki seseorang yang lain yang sangat di sayanginya sedalam itu." tetesan air mata mengalir deras di pipi Vian.
"Tapi Vi, aku benar-benar sayang kamu."
"Aku tak mau jadi pelarianmu, Van. Rasa sayangmu padaku masih kalah jika dibandingkan dengan Angel."
"Vi..." lirih Revan.
"Aku sudah mengatakan semuanya padamu apa yang kurasakan. Yang aku inginkan hanyalah kau bisa menerima dengan ikhlas bahwa Angel sudah tak bisa kau miliki. Berusahalah ikhlas menerima kenyataan. Aku sedih melihatmu yang masih mengharapkannya begitu dalam."
"Aku sudah mulai melupakannya, Vi."
"Sudah mulai melupakan belum berarti kamu ikhlaskan?" Revan kembali terdiam, "aku juga sudah mulai melupakanmu, Van."
"Vii.."
"Maafkan aku. Untuk saat ini aku tak bisa menerimamu." Vian berlari masuk ke kamarnya. Revan yang masih shock dengan pernyataan-pernyataan yang terlontar dari Vian hanya berdiri mematung. Bunda menatap sedih melihat mereka dari dapur, tak ada tindakan yang dilakukannya, tak ingin mengusik suasana hati mereka yang kacau. Revan pun pulang tanpa pamitan ke Bunda, berjalan gontai menuju mobil.
"Ini semua salahku dan aku pantas mendapatkannya." bisiknya pada diri sendiri, "Maafkan Vian yang tidak peka dengan perasaanmu padamu dan telah menyakitimu begitu dalam hingga seperti ini. maafkan aku." Revan menitikkan air matanya ketika masuk ke mobil. Menundukkan kepalanya dan berdiam diri sesaat sebelum ia menjalankan mobil miliknya, pulang.

Di kamar, Vian terlihat masih sesenggukan, menutup kepalanya dengan bantal. Isakan tangis masih terdengar sesekali. Dia pun mengambil diary miliknya setelah dirasa agak tenang dan mulai menulis..

6 November 2011
Hari ulang tahunku yang ke-22. 
Sudah kuungkapkan apa yang kurasakan selama ini padanya. Sudah tak ada lagi yang kusimpan di hatiku tentangnya.
Semua telah terungkap di depannya secara jelas, tak ada lagi yang kututupi.
Perih dan sakit kurasa di saat harus mengungkapkan semua itu, tapi aku harus melakukannya.
Aku tak ingin dia terus berada di bawah bayang-bayang seseorang yang telah pergi meninggalkannya bersama dengan yang lain.
Aku senang saat dia mengatakan sudah mulai melupakannya, itu pertanda baik.
Aku terpaksa berbohong kalau aku mulai melupakannya, aku tak ingin menjadi pelarian nyata baginya.
Biarlah dia menganggap aku mulai melupakannya dan tak ingin bersamanya.
Jika dia benar-benar menyayangiku, dia pasti akan kembali.
Kali ini aku tak ingin banyak berharap, biarkan waktu yang akan mengejutkan dengan jawaban-jawaban tersembunyinya.

Bulir-bulir air mata mengalir di pipinya, lagi. Betapa sedih yang dia rasakan saat ini mengetahui orang yang disayanginya selama sekian tahun akhirnya menyatakan perasaan padanya tapi di saat hatinya kini sedang tak menentu terhadapnya.

"Maafkan aku, Revan."
Tak lama setelah itu, Vian pun tertidur. Berusaha menenangkan pikiran dan hatinya yang sedang berkecamuk. Pergi ke alam bawah sadar, mencari pencerahan karena kakacauan yang terjadi pada dirinya. Biarkan semuanya menjadi tenang.


_______The Story End_______


[Akhirnya kelar juga dah. Alhamdulillah yah. ^^ Thanks alot buat yang udah baca.. *bow* peyuk ketchup dari akyu.. muuuuaaaccchhh.. ^o^]

4 comments:

  1. hmmm...
    kayaknya kenal deh sama yang ultah tanggal 6 November...
    hehe
    liat cam ngepost cerita di blog icha juga pengen nih...
    kalo cerpen/novel dgn akhir yang g' happy bagus juga #ditimpukPembaca

    ReplyDelete
  2. wah, chan2 kenal??
    yah, ketauan donk ini..
    kekekkeke
    emang chan2 neh pecinta story sad ending yah..
    ^^

    ReplyDelete
  3. wui...itu beneran udah diutarain??????seriusan???atau cerita ajah?????
    -Ndunk_

    ReplyDelete
  4. hohohohohoho
    begitulah ndut..
    tau ndiri kn yah..
    ^^

    ReplyDelete