Oct 29, 2011

[cerpen] 7 Years of Love

the story begin...
(no introduce cast or anything else, just go with the flow)

_Vian's PoV_

"Bunda, its fine if i dressing like this?" aku berjalan ke depan kaca dengan malu-malu
"Waaaa, you looks so beautiful."
"Really?!"
"Eum..." Bunda hanya mengangguk menjawabku.
"Warna dan modelnya bagus gak Bunda?!
"Iya, sayang."
"Gak akan aneh kan kalo aku pake pas reuni ntar?!
"Gak..."
"Beneran?!!" aku masih tak yakin dengan pilihan dress ku ini.
"Udah, cepetan ganti sana. Biar dress kamu itu bisa di bungkus ama mbaknya tuh." Bunda menunjuk pramuniaga yang sedari tadi setia menungguku.
"Tapi beneran cocok kan yah Bunda ama aku?"
"Iyah, mau Bunda ngomong brapa kali lagi sayang biar kamu yakin?!!"
"Heeee" aku cuma bisa nyengir kuda denger perkataan Bunda, "kalo gitu aku ganti yah Bunda, tungguin aku." aku pun senyum genit tapi Bunda cuma geleng2 liatin aku bertingkah kayak gitu. ^o^

_______#####_______

"Bunda, aku pergi yah.. Muach muach muach.."
"Ayah, aku tinggal yah. Dadah"
Aku langsung meninggalkan Bunda dan Ayah yang lagi asyik menonton di ruang keluarga.
"Sayang.." kudengar Bunda memanggilku
"Iya Bunda." aku menghentikan langkahku dan kulihat Bunda mendekatiku
"Kamu pergi sendiri?"
"Gak donk. Aku dianter ama mas kok Bunda."
"Mana mas mu?"
"Udah di depan tuh, nungguin aku. Makanya aku harus cepet neh Bun, ntar aku dimarahin lagi gara-gara lelet. Tau ndiri donk anak Bunda yg satu ituh. Oke Bun, aku pergi yah."
Kucium Bunda sekali lagi dan kabur lagi (?) dari hadapannya. Mas ku emang udah gak tinggal bareng di rumah lagi karna jarak kantornya ama rumah lumayan jauh dan di jalur macet. Makanya si mas terpaksa beli apartemen yg deket dengan kantor, biar mengurangi resiko telat ngantor. Haa, mas ku emang karyawan teladan. ;p

Di dalam mobil...
"Kenapa lama? kan kamu tahu mas gak bisa lama-lama." tanya masku dengan muka sedikit kesel.
"Bunda, Mas." jawabku singkat.
"Kenapa dengan Bunda?"
"Bunda ngirain aku perginya sendirian makanya ditahan dulu, ditanyain gitu."
"Loh, emang kamu gak bilang sebelumnya kalo kamu mas yang anter?"
"enggak." jawabku sambil nyengir yang dibales gelengan kepala masku tersayang itu.

Di depan gedung reuni..
Kulihat sudah banyak mobil dan motor yang terparkir di sana pertanda bahwa orang-orang sudah banyak juga yang datang. Sesaat aku akan turun, masku memegang tanganku.
"Kenapa mas?" aku kembali duduk menghadapnya.
"Nanti kalau kamu udah mau pulang, kamu telpon mas aja yah biar mas jemput lagi. Oke?"
"Oke deh." aku mengacungkan jempolku padanya.
"have fun yah, sayang." masku lalu mengelus pipi kananku.
"have fun juga buat mas."
Aku kemudian turun dari mobil dan berbaur bersama dengan para undangan lain yang datang.
Saat ku toleh ke arah mobil masku, dia masih di sana, melambaikan tangannya padaku.
"Ah, masku tersayang katanya buru-buru tapi gak juga cepetan pergi malah liatin aku gini." batinku sambil mengisyaratkan tangan tuk pergi kepadanya.

Di dalam gedung reuni...
Aku merasa sedikit terasing sesaat berada di dalamnya. Karena aku datang sendirian, tak ada pasangan seperti yang lainnya, entah pasangan kekasih ataupun teman yang datang bersamaan. Dan yang membuatku tambah aneh saat berada di sana adalah, tatapan mata yang memandangku, begitu fokus melihatku dari atas sampai bawah tanpa berkedip. Aku berpikir apa ada yang salah dengan penampilanku? Mengapa tatapan mereka aneh begitu?
Aku kembali mengingat penampilanku malam ini saat ku bercermin di kamar, sepertinya tak ada yang aneh, aku mengenakan dress warna putih tulang selutut dengan aksen pita di dada, rambut juga ku gerai hanya tambahan jepit rambut kecil di kedua sisi kepalaku, heels warna senada dengan dressku juga termasuk model yg standar. Jadi apa yang aneh dari seorang Viani Hawiardi??
Disaat kepalaku masih terisi dengan pertanyaam-pertanyaan aneh, seseorang menepuk bahuku.
"Hai, Vi.." refleks aku menoleh ke asal suara.
"Hai..." aku tersenyum padanya. haduh, aku lupa namanya tapi aku tahu dia anak dari kelas yang bersebelahan persis dengan kelasku.
"Sendirian?!" tanyanya lagi di saat aku masi berpikir mengingat siapa namanya.
"Iya nih. Kamu?"
"Sama." jawabnya sambil matanya mengisyaratkan kami untuk berjalan menuju meja penyajian makanan, "aku lagi nyariin si Daniel, katanya dia udah nyampe duluan tapi dari tadi aku keliling ga ketemu-ketemu juga, eh malah ketemu ama kamu."
"Daniel?!"
"Anak IPA2 yang bandel itu loh, yang suka autis anaknya."
"Autis?!" aku mengingat lagi, "ouw, yang suka main di kelasku bareng si Ion yah?"
"Iya, bener banget. Kan aku ama Daniel emang sering banget mampir ke kelas kamu."
"Btw, kesibukan kamu apa sekarang?" aku menyeruput honey lime tea yang kuambil tadi.
"Aku kerja di kantor Papah. Si Mamah gak bolehin aku kerja di Singapore. Gara-gara kemarin aku kuliahnya di sana, kata Mamah cukup 4 tahun aku ga bersama mereka, maklumlah anak tunggal akunya." jelasnya, "kalau kamu gimana?"
Aku hanya membalas pertanyaannya dengan senyuman.
"Koq malah senyum, aku kan lagi nanya?"
"Masih santai di rumah ajah."
"Nungguin lamaran yah?" nadanya ketara sekali kalau dia sedang mengejekku.
"Lamaran apaan? Gada." jawabku tegas.
"Loh, bukannya waktu SMA dulu kamu ama Dion yah?"
"Dion?! IPS4?!"
"Iya, si Dion yang anak OSIS juga ituh."
"Halah, kamu ini gosip koq didengerin." aku menggeleng-gelengkan kepalaku.
"Gosip?!" Jadi yang benerannya ama siapa?"
"Gada siapa-siapa."
"Ah, masa sih?! Kalau sekarang gimana?"
"Masih sama, gada yang berubah." jawabku dengan sedikit manyun. Untung gak lama si Daniel yang dicarinya dari tadi ketemu juga.
"Vi, mo ikutan gabung ama kita?" tanya si Daniel.
"Gak deh. Aku di sini ajah. Mo nyariin temen-temen aku."
"Hmm, pasti kamu ditahan kan ama si Yandi. Neh anak emang suka ngobrol." aku tersenyum.
Haa, akhirnya inget juga tuh anak namanya Yandi n emang doyan banget dah ngobrol.

Sepeninggalnya Daniel dan Yandi, aku mulai berkeliling mencari sobat-sobatku. Huft, agak susah ternyata mencari di kerumunan banyak orang seperti ini.
"Apa mereka ga bisa dateng yah?" gumamku sambil duduk di sofa terdekat.
"Hayo, ngegumamin apaan?" tiba-tiba ada suara pelan yang membuatku merinding. Kutoleh ke samping, ternyata si Revan.
"Loh, kok ada kamu?"
"Lah ini kan reunian sekolah aku juga, yah aku ada donk." gaya bicaranya masih sama nyebelinnya seperti yang dulu.
"Katanya kamu kerja di luar kota, kok bisa ikutan?"
"Yah, bisa-bisa aja donk." aku manyun, "gak kok," dia tersenyum, "kantor aku lagi libur jadinya aku di suruh pulang ama si Mama. Kangen katanya."
"Halah, bilang mama yang kangen padahal sendirinya ajah tuh yang kangen."
"Hee.." si Revan malah nyinyir dikatain gitu ama aku.
"Liburnya mpe kapan emang?"
"Minggu depan."
"Dalam rangka apaan? koq lucu sih, gada event apa-apaan bisa libur kantornya."
"Adalah.."
"Ceilah, pake rahasia segala." aku sedikit manyun, "atau jangan-jangan kamu udah di pecat lagi?!" aku mulai berspekulasi.
"Gak donk."
"Atau kamu dipindahin gara-gara kerjanya gak bagus?"
"Gak tau juga sih. Berharap sih pindah."
"Kok gitu?! Berarti bener yah kerjanya gak bagus alias asal-asalan." aku mulai menelisik.
"Gak donk, cuma pengen ajah pindah cabang yang di sini. Biar deket ma Mamah terus."
"Huaaaa, dasar anak mamah." aku menjitak kepalanya, kesal.
"Emang kamu kerja di kantor apa sih Van?"
"Multi Tech." jawabnya singkat sambil mengelus-elus kepalanya..
"Kerjaan kamu ngapain tuh di situ?"
"Kalau aku jelasin, kamu juga gak bakalan ngeh."
"Pelit." Aku manyun lagi dan menoleh ke arah lainnya.
"Cckkckckck.." Ku dengar suara decakan, "Ngambekannya gak ilang-ilang yah." tiba-tiba kurasakan sebuah tangan mengusap-usap rambutku. Kuhentikan tangan itu dan berbalik, ternyata tangan si Revan.
"Yaaaa, napa maenin rambut aku?!"
"Hiss, gak berubah. Dari dulu kok hobinya ngambek gitu sih."
"Suka-suka aku donk."
Aku berdiri, berniat meninggalkannya sendirian.
"Mau kemana sih?" Revan memegang tanganku.
"Mau nyariin temen-temen aku. Kenapa emang?"
"Ouw, si Elda?! Tadi aku liat dy di sana." Revan menunjuk salah satu pojok ruangan yg ramai.
"Cuma Elda?"
"Iya sih tadi."
"Ya, udah. Aku mau ke sana."
Aku berjalan ke arah yang di tunjuk Revan tadi, tapi tanganku masi digenggam olehnya yang menghambatku melangkah. Aku memberi isyarat mata untuk melepas tanganku, tetapi dia malah mempererat genggaman tuk sesaat kemudian melepaskannya.
"Dasar cowok aneh." batinku.
Aku pun berjalan kembali mencari teman-temanku yg lainnya. Kali ini ternyata begitu mudah aku mencari mereka, sepertinya aku memang datang sebelum mereka datang sehingga tadi mereka tak kutemui ketika berkeliling.
Di saat berkumpul dimulailah cerita-cerita dari bibir kami dan mengenang masa-masa dimana kami masih bersama d SMA dulu. Gelak tawa tak terelakkan disaat mengingat hal-hal lucu yg pernah kami lakukan.
Di samping itu, acara demi acara yang dirancang panitia pun terus berjalan hingga tak terasa sudah dipenghujung acara yang membuat kami semua harus berpisah lagi.
Rasa haru kembali menggelayuti hatiku, sama seperti saat perpisahan 4 tahun lalu. Kembali akan berpisah dengan teman-teman yang kusayangi. Kembali pada rutinitas sehari-hari yang susah untuk ditoleransi waktu dan tempat yang cocok untuk bertemu.
Aku menelepon mas untuk menjemputku, tetapi tak ada jawaban darinya. Sepertinya masih sibuk dengan kerjaannya. Terpaksa aku mengirimkan pesan singkat. Berharap dibacanya dan segera menjemputku.

Satu per satu temanku pulang, perlahan meninggalkan ruangan yang mulai menyepi. Aku menunggu mas Putra di lobby gedung, gelisah. Berulang kali mencoba meneleponnya, tapi tetap tak diangkatnya.

30 menit berlalu, belum ada tanda-tanda kemunculannya. Aku semakin gelisah. Tiba-tiba Revan menghampiriku.
"Nungguin siapa?"
"Mas Putra."
"Yakin bakalan dijemput." aku menggeleng lemah, "udah ditelpon lagi?"
"Udah, tapi gak diangkat." suaraku melirih.
"Mau aku antar aja?"
"Gak perlu." sahutku cepat.
"Mau nunggu sampai kapan?! Ini udah malem banget loh."
"Aku mau nungguin mas Putra aja. Takutnya dia udah di jalan. Ntar kalo aku pulang ama kamu terus mas Putra jemput kan selisipan. Gak ah, kesian mas Putra dah bela-belain jemput aku tapi akunya gak ada. Lebih baik aku yang nungguin ajah. Kalau kamu mau pulang, ya pulang ajah. Aku gak apa-apa kok sendirian juga."
"Tapi ...." tiba-tiba hapeku berdering, tanda ada pesan masuk.
"Tuh kan bener."
"Bener apanya?"
"Mas Putra lagi dijalan ngejemput aku. Tadi dia ada pertemuan mendadak, sekarang udah kelar. 1 jam lagi nyampe katanya."
"Ooo, baguslah. Mau ditemenin apa gak neh?"
"Ya, terserah kamu."
Akupun duduk di sofa, tak lagi berjalan mondar mandir karena gelisah. Kulihat Revan tak beranjak dari posisinya yang sekarang, sepertinya dia berniat menemaniku hingga mas Putra menjemput. Walau tadi aku berkata sendirian gak masalah, tapi sebenarnya aku khawatir dan takut.
Baru sebentar duduk, kelopak mataku mulai berat. Kantuk menyerangku. Mas Putra cepetan datang, mata Vian udah gak kuat ini. Aku terus mencoba membuka mataku agar tak terlelap di sofa empuk ini. Tapi pertahananku kalah, rasa kantuk merajaiku tuk menutup mataku.

_Vian's PoV end_

_______#####_______

_ReVan's PoV_

Aku datang sendirian ke reunian sekolah ku ini karna mendadak kantor mengizinkanku ambil cuti beberapa hari. Sehingga membuatku tak bisa janjian datang bersama teman-temanku yang lain. Aku berjalan santai, mencari teman yang bisa kuajak mengobrol. Sampai akhirnya aku melihat Vian beberapa jarak di depanku, terduduk seketika.
Dia tak menyadari kehadiranku karna langkah kakiku tertutupi oleh suara keras dentuman lagu yang mulai menyeruak.
"Apa mereka ga bisa dateng yah?" gumamnya tiba-tiba. Sepertinya dia masih belum bertemu satupun sahabat baiknya.
"Hayo, ngegumamin apaan?" tanyaku lirih.
"Loh, kok ada kamu?" kulihat wajahnya sangat terkejut melihatku ada di sini sekarang.
"Lah ini kan reunian sekolah aku juga, yah aku ada donk." jawabku sekenanya.
"Katanya kamu kerja di luar kota, kok bisa ikutan?"
"Yah, bisa-bisa aja donk." dia terlihat manyun, "gak kok," aku tersenyum, "kantor aku lagi libur jadinya aku di suruh pulang ama si Mama. Kangen katanya."
"Halah, bilang mama yang kangen padahal sendirinya ajah tuh yang kangen."
"Hee.." aku cuma bisa nyengir dikatain begitu olehnya.
"Liburnya mpe kapan emang?"
"Minggu depan."
"Dalam rangka apaan? koq lucu sih, gada event apa-apaan bisa libur kantornya."
"Adalah.."
"Ceilah, pake rahasia segala." aku sedikit manyun, "atau jangan-jangan kamu udah di pecat lagi?!"
Aku kaget dengan spekulasinya, tega bener dah kata-katanya.
"Gak donk." jawabku cepat.
"Atau kamu dipindahin gara-gara kerjanya gak bagus?"
"Gak tau juga sih. Berharap sih pindah."
"Kok gitu?! Berarti bener yah kerjanya gak bagus alias asal-asalan." aku makin heran ama nih anak, spekulasinya bikin geregetan pengen nyubit tuh pipi yang makin chubby aja dah.
"Gak donk, cuma pengen ajah pindah cabang yang di sini. Biar deket ma Mamah terus."
"Huaaaa, dasar anak mamah." tiba-tiba dia menjitak kepalaku.
"Emang kamu kerja di kantor apa sih Van?"
"Multi Tech." sambil mengelus-elus kepalaku, kesakitan..
"Kerjaan kamu ngapain tuh di situ?"
"Kalau aku jelasin, kamu juga gak bakalan ngeh."
"Pelit." Bibirnya kembali manyun dan menoleh ke arah lainnya.
"Cckkckckck.. Ngambekannya gak ilang-ilang yah." akupun meraih rambutnya, ku usap-usap, berusaha menenangkannya.
"Yaaaa, napa maenin rambut aku?!" Dia meraih tanganku dan berbalik. Bisa kurasakan lembutnya sentuhan tangan yang tak pernah kurasakan nyata selama ini dari tangannya. Aku tersenyum di dalam hati.
"Hiss, gak berubah. Dari dulu kok hobinya ngambek gitu sih."
"Suka-suka aku donk." Dia melepaskan tangannya dan berdiri, sepertinya mau pergi.
"Mau kemana sih?" Kuraih tangannya, berusaha menahannya agar tak pergi.
"Mau nyariin temen-temen aku. Kenapa emang?"
"Ouw, si Elda?! Tadi aku liat dy di sana." aku teringat Elda, salah satu sahabatnya yang berketurunan spanyol itu dan menunjuk salah satu pojok ruangan saat tadi kami berpapasan.
"Cuma Elda?"
"Iya sih tadi."
"Ya, udah. Aku mau ke sana."
Tangannya masih kupegang, masih berusaha menahannya tuk tetap di sini. Merasa aku menghambatnya pergi, aku melihat matanya memberi isyarat untuk melepaskan tanganku. Aku bukannya melepaskan tetapi malah mempererat genggaman tanganku, aku benar-benar tak ingin dia pergi. Tapi sepertinya dia sangat-sangat ingin bertemu dengan sahabat-sahabatnya itu, akhirnya aku melepaskannya.
Aku terus melihatnya berjalan menuju arah yang kutunjuk tadi. Kulihat dia telah asyik bercengkrama dengan sahabat-sahabat yang ditemuinya.
Tak mengurangi intensitasku melihatnya, akupun mencari teman mengobrol lainnya.

Acara selesai sesuai dengan waktu yang panitia alokasikan. Aku mencari Vian yang hilang dari pandanganku karena terhanyut suasana mengobrol bersama teman-teman yang lainnya. Suasana mulai sepi karena teman-teman sudah pada pulang. Karena tak kunjung menemukan Vian aku pun berniat pulang saja, mungkin dia sudah pulang sedari tadi sehingga aku tak melihatnya lagi.

Saat berjalan menuju lobby, aku melihat Vian yang tampak gelisah. Bolak-balik melihat ke arah ponsel dan pintu keluar. Aku pun menghampirinya, penasaran dengan apa yang membuatnya begitu gusar seperti ini.
"Nungguin siapa?" tanyaku sesampainya di hadapannya.
"Mas Putra." 'oh, nungguin masnya ngejemput ternyata.' batinku.
"Yakin bakalan dijemput." tak ada jawaban darinya, hanya gelengan tak yakin dari kepalanya, "udah ditelpon lagi?" aku ikutan gusar karenanya.
"Udah, tapi gak diangkat."
"Mau aku antar aja?"
"Gak perlu."
"Mau nunggu sampai kapan?! Ini udah malem banget loh."
"Aku mau nungguin mas Putra aja. Takutnya dia udah di jalan. Ntar kalo aku pulang ama kamu terus mas Putra jemput kan selisipan. Gak ah, kesian mas Putra dah bela-belain jemput aku tapi akunya gak ada. Lebih baik aku yang nungguin ajah. Kalau kamu mau pulang, ya pulang ajah. Aku gak apa-apa kok sendirian juga."
"Tapi ...." kekhawatiranku memuncak. Aku tau dia tipe yang lebih memilih menunggu walau gak jelas seperti sekarang, apalagi kalau udah berjanji, dia paling gak bisa deh bikin orang lain repot karena urusannya.
Di saat hati aku yang masih ketar-ketir ngekhawatirin dia, tiba-tiba dia nyeletuk "Tuh kan bener."
"Bener apanya?"
"Mas Putra lagi dijalan ngejemput aku. Tadi dia ada pertemuan mendadak, sekarang udah kelar. 1 jam lagi nyampe katanya."
"Ooo, baguslah. Mau ditemenin apa gak neh?" aku menghela napas lega.
"Ya, terserah kamu."
Aku tak menjawab. Karena aku memang ingin menemaninya, diizinkan atau tidak olehnya. Cowok mana sih yang tega ninggalin cewek sendirian nungguin jemputan yang datangnya masih lama, malam-malam kayak gini lagi.
Aku pun menemaninya dari jauh. Ku lihat dia berusaha merelaksasikan diri, menyandarkan kepalanya di sofa.

Tiba-tiba...
"Wah..." aku kaget, Vian tertidur di sofa, hampir saja dia terjatuh. Akupun segera mendekatinya, membuatnya berbaring di pangkuanku dan menutupi tubuhnya dengan jas hitam milikku. Menunggu mas Putra menjemputnya. Masih lamakah??

_Revan's PoV end_

_______#####_______

[to be continue....]

4 comments:

  1. ckckck kisah nyata nie keknya....ahaaay....
    jiah ini TBC ap udh ending vee?
    kok ngambang gtuh?
    cieeeee....munak bener dah dideketin cwo begituh cuit2......XDDDDD...wkwkwkwkwk
    pembahasaannya nyantai abieesss....
    tp kadang berubah kaku/formal...
    jadi blum teratur bahasa tulisannya [sok kritikus]

    ReplyDelete
  2. klo masalah tata bahasa, harap maklum ye imoku.. tuh buatnya juga kepotong2. jarang di liat lagi yg sebelum2nya.. kekekee

    ReplyDelete
  3. uhuk uhuk... ceritanya khas cam banget...
    bagus juga dari dua sudut pandang
    icha kadang susah nih buat cerita beginian.
    kalo dari karakter udah dapet.
    Cerita ini buat icha jadi kangen SMA T_T
    Saran icha sih kalo mau pake dua sudut pandang diusahain dengan dialog yang beda gitu jadi g boros. hehe. hanya saran

    ReplyDelete
  4. hehehehe
    emang cerita sedikit mengenang mas SMA, jadi ya gitu deh..
    sama chan, V juga kangen..
    okay, sarannya diterima dah..
    thanks yah chan..
    ^^

    ReplyDelete