Lelaki renta itu, dengan kehalusan hatinya ingin ber-Islam menjadi sebab turunnya ayat ‘Abasa watawalla', Rasul pun ditegur Allah karenanya. Seorang miskin lagi buta, bukan berarti tak lebih utama dari para pemuka negara.
Lelaki renta itu, pernah minta keringanan untuk tidak ikut sholat berjamaah di masjid karena dia buta, karena dia sebatang kara, karena masjid jauh sekali dari rumahnya, tapi tanya Rasul, “Apakah engkau masih mendengar adzan?” saat dijawabnya masih, maka kata Rasul, “Kalau begitu, berangkatlah.”
Lalu, tunduk patuh ia pada perintah sekali pun tak pernah ia sanggah tiap sholat lima waktu sholat berjamaah. Meski fajar masih pekat dan jarak masjid tak dekat, ia meraba-raba dalam gelap. Hingga suatu saat, kakinya tersandung bongkahan batu badannya terjerembab jatuh,
mukanya tersungkur di runcingnya batu berdarah-darah.
Setelahnya, selalu datang seorang lelaki menuntunnya dengan ramah pergi dan pulang sholat berjamaah setiap hari, setiap lima waktu. Hingga suatu saat lelaki tua ingin sekali tahu siapa gerangan lelaki penolongnya itu karena ingin ia doakan atas kebajikannya selama ini. Tapi kata lelaki muda, “Jangan sekali-kali kau doakan aku dan jangan sekali-kali kau ingin tahu namaku karena aku adalah iblis”
Sontak lelaki renta itu terkejut, “Bagaimana mungkin engkau menuntunku ke masjid, sedangkan dirimu menghalangi manusia untuk mengerjakan sholat?”
Iblis menjawab, “Ingatkah dulu saat kau hendak sholat subuh berjamaah, kau tersandung batu, lalu bongkahannya melukai wajahmu? Pada saat itu aku mendengar ucapan Malaikat, bahwa Allah telah mengampuni setengah dosamu. Aku takut kalau engkau tersandung lagi, lalu Allah menghapuskan setengah dosamu yang lain. Maka aku selalu menuntunmu ke masjid dan mengantarkanmu pulang.”
Lalu, saat tubuh itu merenta makin menua dimakan usia datang seruan perang Qaddisiyah. Sang khalifah Umar mengumpulkan segenap lelaki dari seluruh penjuru negeri terselip ia, berbaris bersama ingin sekali ikut berperang di medan laga demi cita-cita mulia. Khalifah Umar melarangnya, bagaimana seorang buta lagi renta, akan ikut berperang? Bagaimana jika dia langsung celaka terkena tombak? Atau justru mencelakai temannya karena tak mampu mengenali siapa.
Tapi, lelaki tua itu bersikukuh, “Tempatkan aku di antara dua pasukan yang berperang. Aku akan membawa panji kemenangan. Aku akan memegangnya erat-erat untuk kalian. Aku buta, karena itu aku pasti tak akan lari”. Khalifah, tak lagi mampu menghalangi.
Lalu semuanya, berangkatlah lekaki tua itu ingin menepati janjinya dengan baju besi yang dikenakannya dan bendera besar yang dibawanya, dia berjanji akan mengibarkannya senantiasa, atau mati terkapar di sampingnya. Lewat pertempuran Qaddisiyah, Persia yang congak pun kalah tapi kemengangan itu tak murah dibayar dengan nyawa ratusan syuhada, terselip di antara mereka
jenazah lelaki tua terkapar berlumuran darah sambil memeluk erat sebuah bendera sungguh, dia telah menepati janjinya.
Wahai lelaki mulia, sesak dadaku membaca kisah hidupmu, menyungai sudut mataku mengenangmu. Engkau buta, sebatangkara dan renta tapi itu tak membuatmu pasrah dan diam meski udzur telah membolehkanmu untuk tak kemana-mana, di rumah saja.
Lalu, bagaimana dengan diriku ini? Aku masih muda, aku bukan fuqara, akuu tak buta jua tak sebatangkara. Tapi kenapa, sering sekali ada alasan mendera untuk tak bersegera?
Lelaki sepertimu, dengan segala keterbatasan terus mencari-cari alasan agar mampu mengambil peran. Sedang aku, kita dengan segala kemudahan sering mencari-cari alasan agar boleh tak ikut berperan. Lalu, dengan apa akan kita buktikan bahwa kita ini beriman?
Mari belajar darinya, Abdullah bin Ummi Maktum.
-Ustadz Sani bin Husein, S.Si.-
shared at WhatsApp family ODOJ1550
re-shared at lovelyboutcrazy.blogspot.com by Vee
No comments:
Post a Comment