Pagi itu saya sedang mengabsen anggota lingkaran yang tidak hadir. Ketika sampai pada sebuah nama, dijawab "sakit" oleh yang lainnya. Selang beberapa menit kemudian, tiba-tiba saja nama yang barusan disebut muncul dengan wajah sedikit pucat.
"Lho mbak, katanya sakit? Tanya saya.
"Iya bu. Tapi rugi kalau ketinggalan ilmu." Jawabnya dengan tersipu.
Subhanallah. Sesungguhnya dia sedang berbagi ilmu, bagaimana bernegosiasi dengan udzur. Hari itu dia bertahan duduk melingkar hingga seluruh agenda usai.
Tak mudah bernegosiasi dengan udzur ini. Bagaimana kita memenej kendala agar tidak jadi penghalang bagi kita untuk melakukan sebuah kebaikan. Kata Syaikh Hasan Al Banna,
"udzur itu terlalu banyak jika dituruti."
Sakit itu udzur syar'i. Tapi kita bisa menakar separah apa sakitnya kita. Saya teringat seorang ustadzah, tetap berangkat liqo saat beliau sakit. Hingga sakitnya benar-benar tak tertahankan, beliau izin ke rumah sakit dan ternyata harus diopname. Atau seorang ustadz yang dalam perjalanannya ke tempat liqo mengalami kecelakaan. Kendaraannya ditinggalkan dan beliau sendiri melanjutkan perjalanan ke tempat liqo.
Udzur syar'i, tapi tak diambil. Sungguh patut untuk diteladani.
Sementara kita, lelah sedikit dijadikan udzur, pusing sedikit meminta izin, galau meminta izin. Bahkan terkadang tak datang tanpa keterangan. Astaghfirullah. Ampuni hamba ya Rabbi.
Saya pernah dinasihati seseorang.
- Ketika kita berada di posisi yang memiliki udzur, minimalisir lah. Jangan terlalu mudah meminta izin. Seringnya, memaksa diri hadir pada agenda dakwah yang di dalamnya banyak menyebut nama Allah bisa menjadi sebab pertolongan Allah (misalnya yang sakit menjadi sehat, yang galau menjadi tenang, yang lapar jadi kenyang. Hehehe.) Ingat, udzur itu terlalu banyak jika dituruti.
- Ketika orang lain yang memiliki udzur maka kita harus memiliki 1999 alasan untuk berprasangka baik. Kadang kita tidak memiliki udzur yang sama karena belum terjebak pada kondisi yang sama. Seorang ibu rumah tangga yang tidak pernah menjadi guru tidak tahu bagaimana rasanya hectic mengejar deadline mengisi rapor atau tak nyaman meninggalkan rapat. Seorang karyawati yang belum memiliki anak tidak tahu bagaimana ribetnya ketika hendak pergi dan sudah berpakaian rapi tiba-tiba anak balitanya 'pup'.
Belum lagi fakta bahwa setiap orang memiliki kekuatan yang berbeda. Ada orang yang hamil muda tidak pakai mabuk, ada yang mabuk pake banget. Ada yang anaknya 1 tapi kalang kabut menghadapi tingkah polah si anak, ada yang beranak 4 tapi easy going. Maka semua membutuhkan permakluman. Akan tetapi, bagi kita yang ber-udzur, jangan terlalu banyak memaklumi diri sendiri. Tertinggal kita nanti.
Satu lagi yang penting.
Ini kata suami saya, jangan menikmati udzur. Jangan bersuka cita karena sakit yang diderita, hingga bisa izin tidak hadiri agenda dakwah. Hanya satu alasan yang boleh membuat kita mensyukuri sakit, yaitu diampuninya dosa ketika kita sakit. Jangan disyukuri musibah. Karena rumah kebanjiran jadi ada alasan untuk meminta izin. Astaghfirullahal adziim.
-Ambasador F3 22-
shared at WhatsApp family ODOJ1550
re-shared at lovelyboutcrazy.blogspot.com by Vee
No comments:
Post a Comment