Kadang, ada saatnya dalam hidup ini kita tidak lagi membutuhkan cara-cara gradual untuk meraih kebaikan, atau menghindar dari keburukan. Karena, perbedaan yang tipis antara menempuh cara gradual untuk melakukan perbaikan, dengan tabaathu’ (keengganan), takaasul (kemalasan) dan taswiif (menunda-nunda), sering menjadi celah bagi setan untuk menghalangi seseorang dari langkah-langkah kebaikan dengan alasan bertahap dalam melakukannya.
Ya, ada saatnya kita membutuhkan hentakan jiwa untuk keluar dari perangkap setan yang menghalangi kita untuk mengambil langkah tegas, cepat dan tepat dalam melakukan kebaikan. Karena, sedikit saja kita tunda langkah tersebut dengan berbagai alibi, disanalah setan masuk, mengulur-ngulur waktu lebih lama sambil memberi janji-janji manis penuh pesona, lalu menggiring pada kesesatan yang nyata.
Ketika azan telah berkumandang, sementara kita masih tertidur lelap serasa malam masih panjang, atau tenggelam dalam kesibukan kerja bak pejuang, saat itu kita perlu hentakan untuk menggerakkan jiwa menyambut panggilan Tuhan, menghadap-Nya dengan jiwa yang tenang.
Ketika jadwal mengaji sudah tiba gilirannya, sementara kita sedang asyik bercengkerama dengan keluarga, bercanda dengan kolega, menyalurkan hobi yang disuka, menghadiri undangan tetangga, atau asyik berselancar di dunia maya, saat itu kita perlu hentakan untuk menggerakkan hati, memenuhi agenda jiwa, menunaikan janji membina diri menuju takwa.
Ketika batang demi batang rokok tidak juga dapat kita tinggalkan, janji untuk menghentikannya sudah berkali-kali dinyatakan, berbagai terapi sudah dipraktekkan, saat itu kita butuh hentakan jiwa, tinggalkan total hingga tak tersisa dan hapuskan rokok dari ingatan saat itu juga.
Ketika bayang-bayang ‘si dia’ begitu menggoda, senyumannya selalu terbayang di pelupuk mata, ucapannya indah terdengar bagaikan kata-kata mutiara, bayang-bayangnya selalu hadir saat bekerja, beribadah dan dimana saja, berpindah-pindah antara satu ‘zina’ ke ‘zina’ berikutnya. Saat itu, perlu hentakan jiwa. Hapuskan ‘file’ tentang ‘si dia’ dalam pikiran dan perangkat lainnya, atau segera menikah, agar ekspresi cinta tersalurkan dengan halal dan penuh mesra.
Dahulu, kala perang Mu’tah yang sangat heroik, ketika satu demi satu panglima perang kaum muslimin gugur, timbul sedikit kegentaran pada diri Abdullah bin Rawahah, sahabat mulia yang dikenal ahli sastra. Namun dia tidak ingin terpenjara oleh jebakan setan durjana. Segera dia hentakan jiwanya untuk turun ke arena, seraya bersenandung penuh makna.
Aqsamtu billahi ya nafsu latanzilinnah
Latanzilinnah aw latukrahinnah
Wa qad ajlabannasu wasysyaddu rannah
Maalii araaki takrahiinal jannah
Aku bersumpah!
Wahai jiwa, engkau harus turun perang
Engkau harus turun, atau kalau tidak, engkau akan dipaksa
Orang-orang sudah turun, perang sengit bergemerincing
Mengapa ku lihat engkau tidak menyukai surga?
Tak lama kemudian, Abdullah bin Rawahah sudah termasuk barisan syuhada.
Ramadan adalah kesempatan emas untuk melakukan berbagai hentakan jiwa menuju takwa, meraih pahala, menanggalkan dosa, berharap mendapatkan kucuran rahmat, ampunan dan surga. Kalau tidak sekarang, kapan lagi?
-Riyadh, Abdullah Haidir-
shared at WhatsApp family ODOJ1550
re-shared at lovelyboutcrazy.blogspot.com by Vee
No comments:
Post a Comment