Sebuah cerita
inspiratif yang di share oleh
temanku di group chat
"LINE".
Sebuah cerita yang
membuatku kembali teringat pada keinginan yang ingin kuwujudkan suatu hari
nanti. Sebuah keinginan kecil yang telah aku miliki sewaktu aku kecil, hingga saat ini. Sebuah keinginan sederhana yang sulit untuk terwujud karena adanya keinginan lain dari orang-orang di sekelilingku.
The point of view of this story is from a mother side..
Let’s read the story and consider what your thinking about it..
Did you ever dreaming that little dream in your life??
Di kelasnya ada 50 orang murid, setiap kali
ujian, anak perempuanku tetap mendapat ranking ke-23. Lambat laun membuat
dia mendapatkan nama panggilan dengan nomor ini, dia juga menjadi murid
kualitas menengah yang sesungguhnya. Sebagai orangtua, kami merasa nama
panggilan ini kurang enak didengar, namun anak kami ternyata menerimanya dengan
senang hati.
Suamiku mengeluhkan ke padaku, setiap kali ada
kegiatan di perusahaannya atau pertemuan alumni sekolahnya, setiap orang selalu
memuji-muji "Superman cilik" di rumah masing-masing, sedangkan dia
hanya bisa menjadi pendengar saja. Anak keluarga orang, bukan saja memiliki
nilai sekolah yang menonjol, juga memiliki banyak keahlian khusus.
Sedangkan anak nomor 23 di keluarga kami tidak memiliki sesuatu pun untuk
ditonjolkan.
Dari itu, setiap kali suamiku menonton penampilan
anak-anak berbakat luar biasa dalam acara televisi, timbul keirian dalam
hatinya sampai matanya bersinar-sinar. Kemudian ketika dia membaca sebuah
berita tentang seorang anak berusia 9 tahun yang masuk perguruan tinggi, dia
bertanya dengan hati pilu kepada anak kami:
“Anakku, kenapa kamu
tidak terlahir sebagai anak dengan kepandaian luar biasa?”
Anak kami menjawab:
“Itu karena ayah juga
bukan seorang ayah dengan kepandaian luar biasa.”
Suamiku menjadi tidak bisa berkata apa-apa lagi,
saya tanpa tertahankan tertawa sendiri.
Pada pertengahan musim gugur, semua sanak keluarga
berkumpul bersama untuk merayakannya, sehingga memenuhi satu ruangan besar di
restoran. Topik pembicaraan semua orang perlahan-lahan mulai beralih
kepada anak masing-masing. Dalam kemeriahan suasana, anak-anak ditanyakan
apakah cita-cita mereka di masa mendatang? Ada yang menjawab akan menjadi
pemain piano, bintang film atau politikus, tiada seorang pun yang terlihat
takut mengutarakannya di depan orang banyak, bahkan anak perempuan berusia 4½
tahun juga menyatakan kelak akan menjadi seorang pembawa acara di televisi,
semua orang bertepuk tangan mendengarnya. Anak perempuan kami yang
berusia 15 tahun terlihat sibuk sekali sedang membantu anak-anak kecil lainnya
makan. Semua orang mendadak teringat kalau hanya dia yang belum
mengutarakan cita-citanya kelak. Di bawah desakan orang banyak, akhirnya
dia menjawab dengan sungguh-sungguh:
“Kelak ketika aku
dewasa, cita-cita pertamaku adalah menjadi seorang guru TK, memandu anak-anak
menyanyi, menari dan bermain-main.”
Demi menunjukkan kesopanan, semua orang tetap
memberikan pujian, kemudian menanyakan akan cita-cita keduanya. Dia
menjawab dengan besar hati:
“Saya ingin menjadi
seorang ibu, mengenakan kain celemek bergambar Doraemon dan memasak di dapur,
kemudian membacakan cerita untuk anak-anakku dan membawa mereka ke teras rumah
untuk melihat bintang-bintang.”
Semua sanak keluarga tertegun dibuatnya, saling
pandang tanpa tahu akan berkata apa lagi. Raut muka suamiku menjadi
canggung sekali. Sepulangnya ke rumah, suamiku mengeluhkan ke padaku, apakah
aku akan membiarkan anak perempuan kami kelak menjadi guru TK? Apakah
kami tetap akan membiarkannya menjadi murid kualitas menengah?
Sebetulnya, kami juga telah berusaha banyak.
Demi meningkatkan nilai sekolahnya, kami pernah
mencarikan guru les pribadi dan mendaftarkannya di tempat bimbingan belajar,
juga membelikan berbagai materi belajar untuknya. Anak kami juga sangat
penurut, dia tidak membaca komik lagi, tidak ikut kelas origami lagi, tidur
bermalas-malasan di akhir minggu juga tidak dilakukan lagi. Bagai seekor
burung kecil yang kelelahan, dia ikut les belajar sambung menyambung, buku
pelajaran dan buku latihan dikerjakan tanpa henti. Namun biar bagaimana
pun dia tetap seorang anak-anak, tubuhnya tidak bisa bertahan lagi dan
terserang flu berat. Biar sedang diinfus dan terbaring di ranjang, dia
tetap bersikeras mengerjakan tugas pelajaran, akhirnya dia terserang radang
paru-paru. Setelah sembuh, wajahnya terlihat kurus banyak. Akan tetapi
ternyata hasil ujian semesternya membuat kami tidak tahu mau tertawa atau
menangis, tetap saja nomor 23. Kemudian, kami juga mencoba untuk memberikan
penambah gizi dan rangsangan hadiah, setelah berulang-ulang menjalaninya,
ternyata wajah anak perempuanku semakin pucat saja. Apalagi, setiap kali
akan ujian, dia mulai tidak bisa makan dan tidak bisa tidur, terus mencucurkan
keringat dingin, terakhir hasil ujiannya malah menjadi nomor 33 yang
mengejutkan kami.
Aku dan suamiku secara diam-diam melepaskan aksi
menarik bibit ke atas demi membantunya tumbuh ini. Dia kembali pada jam
belajar dan istirahatnya yang normal, kami mengembalikan haknya untuk membaca
komik, mengijinkannya untuk berlangganan majalah "Humor anak-anak"
dan sejenisnya, sehingga rumah kami menjadi tenteram kembali. Kami memang
sangat sayang pada anak kami ini, namun kami sungguh tidak mengerti akan nilai
sekolahnya. Pada akhir minggu, teman-teman sekerja pergi rekreasi bersama.
Semua orang mempersiapkan lauk terbaik dari masing-masing, dengan membawa serta
suami dan anak untuk piknik.
Sepanjang perjalanan penuh dengan tawa dan
guyonan, ada anak yang bernyanyi, ada juga yang memperagakan karya seni
pendek. Anak kami tiada keahlian khusus, hanya terus bertepuk tangan
dengan gembira. Dia sering kali lari ke belakang untuk menjaga bahan
makanan. Merapikan kembali kotak makanan yang terlihat agak miring,
mengetatkan tutup botol yang longgar atau mengelap jus sayuran yang bocor ke
luar. Dia sibuk sekali bagaikan seorang pengurus rumah tangga cilik.
Ketika makan terjadi satu kejadian di luar
dugaan. Ada dua orang anak lelaki, satunya adalah bakat matematika, satunya
lagi adalah ahli bahasa Inggris. Kedua anak ini secara bersamaan menjepit
sebuah kue beras ketan di atas piring, tiada seorang pun yang mau
melepaskannya, juga tidak mau membaginya. Walau banyak makanan enak terus
dihidangkan, mereka sama sekali tidak mau peduli. Orang dewasa terus
membujuk mereka, namun tidak ada hasilnya. Terakhir anak kami yang
menyelesaikan masalah sulit ini dengan cara sederhana yaitu lempar koin untuk
menentukan siapa yang menang.
Ketika pulang, jalanan macet dan anak-anak mulai
terlihat gelisah. Anakku terus membuat guyonan dan membuat orang-orang
semobil tertawa tanpa henti. Tangannya juga tidak pernah berhenti, dia
mengguntingkan banyak bentuk binatang kecil dari kotak bekas tempat makanan,
membuat anak-anak ini terus memberi pujian. Sampai ketika turun dari
mobil bus, setiap orang mendapatkan guntingan kertas hewan shio masing-masing.
Ketika mendengar anak-anak terus berterima kasih, tanpa tertahankan pada wajah
suamiku timbul senyum bangga.
Sehabis ujian semester, aku menerima telpon dari
wali kelas anakku. Pertama-tama mendapatkan kabar kalau nilai sekolah
anakku tetap kualitas menengah. Namun dia mengatakan ada satu hal aneh
yang hendak diberitahukannya, hal yang pertama kali ditemukannya selama 30
tahun mengajar. Dalam ujian bahasa ada sebuah soal tambahan, yaitu siapa
teman sekelas yang paling kamu kagumi dan alasannya. Selain anakku, semua teman
sekelasnya menuliskan nama anakku. Alasannya sangat banyak: antusias membantu
orang, sangat memegang janji, tidak mudah marah, enak berteman, dan lain-lain,
paling banyak ditulis adalah optimis dan humoris. Wali kelasnya
mengatakan banyak usul agar dia dijadikan ketua kelas saja. Dia memberi
pujian:
“Anak anda ini, walau
nilai sekolahnya biasa-biasa saja, namun kalau bertingkah laku terhadap orang,
benar-benar nomor satu.”
Saya berguyon pada anakku,
“Kamu sudah mau jadi
pahlawan.”
Anakku yang sedang merajut selendang leher
terlebih menundukkan kepalanya dan berpikir sebentar, dia lalu menjawab dengan
sungguh-sungguh:
“Guru pernah
mengatakan sebuah pepatah, ketika
pahlawan lewat, harus ada orang yang bertepuk tangan di tepi jalan.”
Dia pelan-pelan melanjutkan:
“Ibu, aku tidak mau
jadi pahlawan, aku ingin jadi orang yang bertepuk tangan di tepi jalan.”
Aku terkejut mendengarnya dan mengamatinya dengan
seksama. Dia tetap diam sambil merajut benang wolnya, benang warna merah muda
dipilinnya bolak balik di jarum bambu, sepertinya waktu yang berjalan di
tangannya mengeluarkan kuncup bunga. Dalam hatiku terasa hangat
seketika. Pada ketika itu, hatiku tergugah oleh anak perempuan yang tidak
ingin menjadi pahlawan ini.
Di dunia ini ada berapa banyak orang yang
bercita-cita ingin menjadi pahlawan, namun akhirnya menjadi seorang biasa di
dunia fana ini. Jika berada dalam kondisi sehat, jika hidup dengan
bahagia, jika tidak ada rasa bersalah dalam hati, mengapa anak-anak kita tidak
boleh menjadi seorang biasa yang baik hati dan jujur.
Jika anakku besar nanti, dia pasti akan menjadi
seorang isteri yang berbudi luhur, seorang ibu yang lemah lembut, bahkan
menjadi seorang teman kerja yang suka membantu, tetangga yang ramah dan
baik. Apalagi dia mendapatkan ranking 23 dari 50 orang murid di kelasnya,
kenapa kami masih tidak merasa senang dan tidak merasa puas? Masih ingin
dirinya lebih hebat dari orang lain dan lebih menonjol lagi? Lalu
bagaimana dengan sisa 27 orang anak-anak di belakang anakku? Jika kami
adalah orangtua mereka, bagaimana perasaan kami?
Anakmu bukan milikmu.
Mereka putra putri Sang Hidup yang rindu pada
diri sendiri.
Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari
engkau.
Mereka ada padamu, tapi bukan hakmu.
Berikan mereka kasih sayangmu, tapi jangan
sodorkan bentuk pikiranmu,
Sebab mereka ada alam pikiran tersendiri.
Patut kau berikan rumah untuk raganya, tapi tidak
untuk jiwanya.
Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa
depan yang tiada dapat kau kunjungi sekalipun dalam mimpi.
Kau boleh berusaha menyerupai mereka, namun
jangan membuat mereka menyerupaimu
Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur, pun
tidak tenggelam di masa lampau.
Kaulah busur, dan anak-anakmulah anak panah yang
meluncur.
Sang Pemanah Maha Tahu sasaran bidikan keabadian.
Dia merentangmu dengan kekuasaan-Nya, hingga anak
panah itu melesat jauh serta cepat.
Meliuklah dengan suka cita dalam rentangan tangan
Sang Pemanah.
Sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat
laksana kilat sebagaimana pula dikasihiNya busur yang mantap.
Khalil Gibran *) cerita ini saya peroleh dari
suatu milist
How was it? An Interesting story, right?!
- Pernahkah bertindak seperti anak kecil itu selama hidupmu? Walaupun ia terbilang masih kecil, namun pemikirannya jauh di atas pemikiran anak-anak di usianya. Ia menikmati masa kecilnya dengan kebahagiaan menjadi orang menengah di aspek akademik, tapi di aspek sosial ia menjadi orang teratas, terbaik diantara anak-anak seumurannya. Ia bisa memenangkan hati teman-teman sekelasnya dengan sikap dan sifat baik yang dimilikinya, bukan dengan nilai akademik yang tinggi.
- Bisakah tak menjadi orang tua yang banyak menuntut? Kelak, kita juga akan menjadi orang tua dari anak-anak kita. Di waktu kecil, tak sedikit dari kita yang menjadi 'korban' keinginan tak kesampaian dari orang tua, yang membuat kita melakukan hal-hal yang sebenarnya tak kita sukai. Orang tua selalu berdalih apa yang mereka suruh adalah hal yang terbaik bagi kita tanpa tahu apa yang sebenarnya diinginkan oleh kita.
- Setiap anak memiliki kemampuan terbaiknya masing-masing. Ada di bidang akademik, sosial ataupun yang lainnya. Janganlah memaksakan sesuatu yang bukan merupakan kemampuan terbaik bagi dirinya jika tak ingin menyakitinya. Sebuah pemaksaan hanya akan melahirkan pemberontakan. Berilah arahan pada setiap pilihan yang ada, bukan memaksa untuk memilih pilihan semu.
Be a good child, when you are young and have your parents beside you..
Be a good parents, when you are old and have your childs loving you..
Source at ocidbrass.com
Shared by Vee at lovelyboutcrazy.blogspot.com
Shared by Vee at lovelyboutcrazy.blogspot.com
No comments:
Post a Comment