The story begin.. again..
_Vian's PoV_
Hoaaaam.." kumengerjap-ngerjapkan kedua mataku. Masih mengantuk. Ku melihat sekitar.
"Wooo, kamar?!" Seketika beranjak dari tempat tidur kesayanganku. Beranjak menuju ruang makan di lantai bawah.
"Bundaaaaaa.." panggilku dengan suara parau. Tak ada jawaban.
"Bundaaaaaaaaaa..." panggilku lagi.
"Duuh, nih anak gadis pagi-pagi dah teriak aja." yang muncul malah si Ayah dari dalam kamarnya.
"Yah, Bunda kemana?! Kok aku panggilian ga nyaut-nyaut sih."
"Bunda ke pasar."
"Tumben sendirian gak sama Ayah."
"Gak sendirian kok. Sama tante Sulam tadi."
"Tante sulam?! Siapa tuh Yah? Tetangga baru??"
"Iya, tetangga yang di ujung kompleks itu."
"Ooo, gitu. Ya udah, aku mau sarapan ah. Ayah udah sarapan?"
"Udah tadi."
"Eh, Ayah rapi bener. Mau kemana?" tanyaku disela-sela mengunyah roti bakar.
"Ada urusan yang harus Ayah selesaikan di luar kota."
"Lama Yah?"
"Gak tau, tergantung urusannya."
"Jam brapa Ayah mo berangkat?"
"Ini lagi nunggu jemputan om Ardi. Ayah males sendirian." Ayah pun masuk kembali ke kamarnya.
Suara klakson mobil. Kulihat ternyata om Ardi.
"Yaaaah, om Ardi dah dateng neh." Aku teriak memanggil Ayah dari pintu depan.
"Om, gak naik dulu. Ayah masih di kamar tuh." tanyaku menghampiri Avanza om Ardi.
"Gak usah, tuh Ayahmu udah keluar" om Ardi menunjuk ke arah pintu rumah di belakangku.
"Wuiz, ayah cepet juga euy." ledekku yang dibales Ayah dengan mengacak-acak rambutku yang memang belum kurapikan dari bangun tidur tadi.
"Ayah ama om berangkat dulu yah. Di rumah sendirian gak masalah kan??"
"Elah, si Ayah. Vian udah gede kali. Lagian Bunda palingan bentar lagi pulang. Udah, Ayah pergi sana."
Setelah cipika cipiki dan mencium tangan Ayah, Avanza hitam yang membawa Ayah dan om Ardi itupun berjalan meninggalkan pekarangan. Aku masuk ke rumah setelah Avanza mereka membelok keluar kompleks, melanjutkan kembali makan roti bakar di depan tv.
"Eh, Bunda lama deh ke pasarnya. Udah setengah jam dari Ayah pergi belum pulang-pulang juga. Ini nih klo ibu-ibu udah belanja, lama, ga inget anak di rumah. Perlu di telepon kayaknya ini."
Aku pun mengambil telepon di meja kecil samping sofa. Baru akan menekan tombol-tombol di gagang telepon, terdengar suara lirih-lirih dari arah teras.
"Bunda pulaaaang." aku berdiri di ambang pintu ruang keluarga.
"Bunda ke pasar mana sih? Lama bener." rungutku.
"Ke pasar biasanya donk. Cuma yah biasa klo ibu-ibu ketemuan buat belanja jadinya yah gitu deh" senyum Bunda.
"Ish, Bunda centil."
"Biarin." Bunda memencet hidungku, "eh, kamu udah sarapan?"
"Udah. Tuh roti bakar aku yang abisin gara-gara nungguin Bunda pulang."
"Itu laper, doyan apa rakus?"
"Hmm, faktor utama sih laper terus doyan jadinya rakus deh."
"Mau dibuatin nasi goreng?"
"Gak usah, cukuplah. Ntar perut Vian meledak lagi pagi-pagi dah diisi banyak makanan."
"Halah, gayanya."
"Bunda hari ini masak apa?"
"cumi goreng tepung sama sop sayur aja."
"Ooo.."
"Kenapa? Kamu mau Bunda masak yang lain?"
"Gak. Itu udah maknyos kok, toh kita cuma berdua jadi gak usah banyak-banyak dah."
"Oke deh." Bunda kemudian menata bahan-bahan yang akan di masak di atas meja dapur, sisanya dimasukkan ke kulkas.
"Bunda, sini aku yang bersihin cumi sama sayurnya. Bunda ngerjain yang lainnya ajah."
"Tumben bantuin Bunda masak? Ada maunya neh."
"Gak kok. Biasa ajah."
"Cuci yang bersih ya." Menyerahkan kresek yang berisi sayur dan cumi ke tanganku, "Bunda yang bikin bumbunya."
"Seep.."
"Oya, semalam kenapa pulangnya malem banget. Kamu ngelantur pergi ke mana aja?"
"Ngelantur pergi ke mana sih Bunda, orang Vian cuma ke acara reunian doank."
"Kok jam pulangnya jauh dari yang kamu bilang sama Bunda. Terus kamu tidur lagi pas nyampe di rumah."
"Eh, tapi Bunda. Yang nganter aku pulang siapa? Coz seingat aku, aku tertidur di sofa lobby deh gara-gara nungguin mas lama jemput."
"Masmu koq. Wong dia yang nganter kamu ke kamar."
"Kok mas bisa bawa aku pulang padahal aku gak nungguin dia di depan gedung deh."
"Gak tau sih. Gada cerita tuh masmu. Abis nganter kamu dia langsung pamit pulang."
"Oh, berarti emang mas yang ngejemput aku yah. Kirain temen aku yang nganter pulang."
"Temen yang mana?"
"Adalah.."
"Pacar kamu?"
"Bukaaaaaaan.." aku menggeleng keras.
"Klo pacar juga gak apa-apa."
"Aish, si Bunda mah. Gada pacar-pacaran." aku cemberut.
Obrolan masi terus berlanjut sambil memasak, Bunda masi menyerempet-nyerempet masalah pacar. Paling males tiap kali ditanya masalah itu.
Tiba-tiba teringat satu nama yang selalu ada di sudut tersendiri di dalam otakku. Walau pernah terlupakan beberapa waktu karena aku mencoba menyayangi yang lain tapi tak ada balasan ataupun malah menyakitiku.
Satu nama yang kembali mengusikku setahun belakangan, mengusik di saat hati ini bebas tak terikat pada siapapun lagi. Perasaan kembali ingin dekat dan lebih dekat lagi kembali membuncah lebih hebat dari waktu pertama ku melihatnya dulu saat masuk SMA..
_______ flashback _______
Siang itu ku menunggu Bunda yang sedang mengurus pendaftaran masuk sekolah di teras lobby. Iseng-iseng memantau keadaan sekeliling yang akan menjadi sekolahku kelak. Terlihatlah sesosok pria yang berdiri di depanku, ada gadis kecil di pelukannya. Dia juga bernasib sama sepertiku, menunggu orang tua yang sedang mendaftarkan kami tuk masuk menjadi bagian di sekolah ini. Tak tau mengapa, ku terus memperhatikannya tanpa berkedip. Senang melihatnya seperti itu, seuntai senyum tak sadar terlontar ketika dia menoleh, entah terlihat olehnya atau tidak karena jarak kami yang lumayan jauh. Aku menyukai dia yang dengan tenang dan sayangnya menggendong adik kecilnya. Terbayang tiba-tiba dia menjadi kekasihku kelak, pasti sayangnya akan sama pada anak-anak seperti itu tak kan berubah.
Setelah beberapa lama, datang seorang wanita paruh baya ke arahnya, menggantikannya menggendong gadis kecil itu dan mengobrol dengannya, tampaknya wanita itu adalah ibunya. Terlihat dia tipe yang dekat dengan Ibunya. Aku terus memperhatikannya hingga Bunda muncul dan mengajakku pulang. Mataku tak lepas melihatnya, sampai-sampai Bunda menegur karena aku hampir menabrakkan diri ke gerbang sekolah. Hmm, love at the first sight?? Maybe. Just save that memory in my mind. My first meet with him and make me loving him so much. ^o^
_______ flashback end _______
"Hayo, nglamunin siapa itu?
"Siapa?!"
"Mikirin pacar kamu yah?"
"Aih, si Bunda ih. Vian gada pacar."
"Boong ah, masa anak Bunda yang cantik ini gak punya pacar?"
"Ya elah, Bunda gak percaya banget."
"Ih, masa sih. Jadi kapan donk Bunda bisa liat pacar kamu yang mana?"
"Tunggu dah mau nikah ajah, jadi ntar gak perlu nunggu lama-lama."
"Wah, udah persiapan nikah diam-diam yah kamu?"
"Udah."
"Kapan rencananya Vi?"
"Kapan-kapan." akupun beranjak dari dapur menuju kamarku.
"Loh Vi, mau kemana? ituh cuminya belum kelar."
"Males. Bunda ngejekin mulu. Aku mau baca novel aja di kamar."
"Yah, ngambek dianya. Gak seru ah."
"Biarin."
Aku bergegas ke kamar, mengambil salah satu novel yang belum kubaca dan langsung menghempaskan tubuhku di kasur. Bertemankan suara-suara dari koleksi mp3 milikku, akupun mulai membaca novel.
_______#####_______
Hari yang sendu.
Awan kelabu bertahan di langit sedari pagi. Matahari pun tak mau keluar memberikan sedikit cahaya kehangatannya. Walau hujan tak turun, tapi suasana sejuk yang tercipta terasa menusuk tulang.
Aku yang seharian malas kemana-mana karena cuaca hanya bisa berkutat di kamar, bermain dengan lappy kesayanganku. Iseng membuka blog satu persatu milik teman-temanku yang lama tak kusinggahi.
Akhirnya aku sampai di blog si Revan. Betapa kagetnya aku membaca postingan terbaru darinya. Kulihat tanggal postingan terakhirnya itu, sebulan yang lalu, 6 bulan setelah kami bertemu di reunian sekolah.
- I wanna tell the world –Nggak tau kenapa gue masih aja ngarepin si Angel. Padahal kan dia udah jadi milik orang lain, bukan cuma sekedar pacar atau kekasih orang lain, tapi udah jadi istri orang lain malah.Emang asem dah si Rudi, gara-gara postingan foto prawed dia ama si Lena gue jadi keinget ama si angel yang pernah ngasih liat foto prawednya juga.Sadar Van, sadar. Si Angel udah jadi istri orang ngapain masih ngarepin dia. Ayo ayo forget it! Cari yang lain. Rudiiiii, tanggung jawab gak loe!! gara-gara loe, gue sarap mikirin si Angel lagi kek gini.
-------------
Sumpah, kaget gak ketulungan rasanya. Lebih kaget dibandingkan dulu waktu aku tau Muti pacaran ama kak Adi.
Gila beneran nih anak, masih ajah nyimpan rasa ama mantan semasa SMP. Aku tau cerita dia ama mantannya itu sewaktu SMA dulu coz aku iseng gangguin dia, eh dia malah curcol ama aku. Terus soal nikahan si mantannya itu aku juga ga sengaja tau dari dia via blog juga, ku kira dia udah lupain secara udah jadi milik orang lain. Waktu itu gak ngerespon apapun, kesian, kelihatan depres banget dari kata-katanya, jadi sekedar tau ajah bagi akunya.
Beneran gak nyangka kalau dia masih ngarepin si Angel-Angel itu. Gak tau deh namanya beneran Angel atau cuma nickname dari si Revan buat tuh cewek. Cantik sih kayak angel kalau diliat dari fotonya, pake mahkota bunga, dress warna putih tulang trus pengambilannya di pantai lagi, bener-bener perpaduan yang pas.
Jedeeeeeer..
Petir menyambar. Hujan rintik-rintik mulai membasahi kaca jendela kamarku. Membuat suasana bertambah dingin. Aku yang sedari tadi mengutak-atik blog makin meringkuk ke dalam selimut.
Suasana hatiku kini sama dengan suasana di luar sana, mendung, kelabu dan dingin. Tak kuasa menahan tangis setelah membaca blog Revan. Sedih, kesal, haru, smua perasaan bercampur jadi satu. Entah apa yang sebenarnya kurasakan saat ini. Mengetahui orang yang di sayangi dari jauh masih mengharapkan cinta pertamanya.
Sakit hati yang dirasa entah karena apa, yang pasti aku merasakan sakit di bagian tertentu hati ini. Setelah mematikan lappy, aku hanya bisa terbaring lemah sambil terisak-isak mengingatnya.
Jadi, apa alasan dia berbuat baik padaku waktu itu? Menemaniku sampai mas Putra menjemput, menjagaku di saat ku tak sengaja tertidur, menyelimuti badanku dengan jasnya serta bersedia menggendongku hingga ke mobil mas Putra malam itu. Apa maksudnya itu semua?! Apa mas Putra membohongiku? Untuk apa?! Ataukah dia melakukannya hanya sebagai sebuah kebaikan kepada seorang teman?! Hanya itu kah?! Berarti aku yang terlalu mengharapkan sesuatu yang lebih darinya, sesuatu yang tak kan pernah bisa ku dapatkan darinya.
Jika terus begitu, sebaiknya perasaan yang kusimpan dari lama ini benar-benar harus kusimpan lebih lama dan jauh di sudut hatiku yang lain yang tak kan terusik untuk muncul lagi suatu saat nanti.
Okay, start to forget him in my heart n my mind, forever. Dont wanna get hurt again coz this feeling. You can go with your choice like that n so do I. Lets we do our choice from now. Please dont appeared again in front of me if you just can hurting me. Your kindness just make my wound hurt n hurt again. From now, i'm trying to forget you, no matter what, i just wanna trying to do that even its so hard.
_______#####_______
Beberapa bulan kemudian...
"Bunda, aku berangkat yah."
"Gak sarapan, Sayang?"
"Gak Bunda. Ntar aku sarapan di kantor ajah, aku harus singgah ke beberapa tempat dulu sebelum ke kantor soalnya."
"Ya udah, minum susunya aja tuh, udah Bunda siapin di atas meja."
"Siap, Bunda."
Segera setelah minum susu, aku pun beranjak berangkat ke kantor. Kali ini aku mengendarai sendiri, tak lagi diantar jemput mas Putra. Mobil yang biasa dibawa Bunda, sekarang aku yang menguasainya. Semenjak aku bertekad untuk melupakan Revan, aku mulai belajar mengendarai mobil. Satu alasan kuat untukku adalah, jika aku kembali teringat dia aku bisa pergi kemanapun aku mau tanpa harus merepotkan Bunda ataupun mas Putra. Dan bersyukur saat ini, karena tekad itu sekarang aku bisa ke kantor sendirian. Aku diterima kerja tepat sebulan setelah hari kelabu itu, disaat aku sudah lancar mengendarai mobil dan mendapatkan SIM A. Benar-benar selalu ada kemudahan dibalik kesusahan. Dan semenjak bekerja 2 bulan ini, aku mulai tak memikirkannya lagi, karena waktuku di penuhi dengan kerja kerja dan kerja. Betapa menyenangkan hidup seperti ini, tanpa dia yang menyakitiku.
"Hmm, mesti ke toko bakery ambil pesanan, lalu lanjut ke toko gift beli kado buat anak si bos, terakhir ngantarin itu semua ke rumahnya. Baru deh ke kantor. Semoga keburu dan gak kena macet. Amiiiin."
_Vian's PoV end_
_Author's PoV_
Vian terus mengendarai mobilnya bergerak ke tempat-tempat yang menjadi tujuannya pagi itu. Walau suasana pagi masih sangatlah dingin sama seperti 3 bulan yang lalu, tapi terlihat rona cerah di wajahnya tak seperti dulu yang sendu.
Terdengar alunan musik-musik indah dari dalam mobilnya, memberinya semangat dan membuatnya bersenandung lirih, tak mau kalah dengan senandung para burung yang berkicau di pagi hari.
Sesampainya di tempat tujuan pertama, toko bakery, mengambil pesanan cake special dan beberapa jenis kue lainnya. "Ternyata pesanan si boss banyak juga yah." Membuat tangannya kerepotan membawa kotak-kotak kue tersebut.
"Wah, mbak sendirian?" seorang pramuniaga pria menghampirinya.
"Hee.." Vian hanya nyengir menjawabnya.
"Sini saya bantuin bawanya mbak." pramuniaga itupun mengambil beberapa kotak kue yang ada di tangan Vian, "mobilnya di mana mbak?"
"Itu yang biru." tunjuk Vian ke salah satu mobil sedan yang terparkir di depan toko bakery.
"Ooo, baiklah mbak." pramuniaga itu pun mengantar kotak-kotak kue ke dalam mobil.
Setelah selesai membayar pesanan di kasir, Vian pun bergegas menuju mobilnya, tak lupa berterima kasih kepada pramuniaga dan memberinya sedikit uang tip.
Setelah memastikan kotak-kotak kue itu aman di kursi belakang, Vian pun beranjak lagi. Mencari toko gift yang buka sepagian itu. Beruntung tak jauh dari toko bakery tadi, ada toko gift yang sudah buka. Vian pun menepikan mobilnya, segera mencari kado yang pas untuk anak si boss. Setelah melihat-lihat kado apa yang bisa diberikannya akhirnya Vian memilih boneka barbie beserta satu set rumahnya.
"Okay, kelar. Saatnya ke rumah si boss. Muter dah ini sayanya. Tapi enjoying ajalah, berdoa gak kena macet."
Selama perjalanan, Vian kembali bersenandung, hanyut dalam alunan nada yang keluar dari spekaer mobilnya.
Setengah jam berlalu, Vian baru sampai di depan kompleks perumahan si boss. Mencari perlahan dimana tepatnya rumah si boss karena ini pertama kalinya dia ke sana, bolak balik memastikan alamat yang disimpan di ponsel androidnya dengan daerah di luar sana.
"Wah, itu dia." Vian melihat rumah yang dimaksud, segera dia menepikan mobilnya. Mengecek terlebih dahulu, apakah benar alamat yang dituju adalah rumah tersebut.
Lama sudah Vian memencet bel, berulang kali tapi tak ada satu orang pun yang keluar. Melihat pintu samping sepertinya tidak dikunci, Vian pun memberanikan diri untuk masuk. Baru akan melangkahkan kakinya masuk, terdengar derap kaki mendekat, Vian pun mengurungkan niatnya. Pintu samping pun terbuka, seorang mbak-mbak muda muncul dengan apron bunga-bunga masih melekat di badannya.
"Cari siapa ya?" tanya mbak-mbak itu.
"Apa benar ini rumahnya pak Ian Wiguna?"
"Iya benar. Tapi bapaknya udah berangkat kerja. Mbak siapa dan ada keperluan apa ya?"
"Saya Vian, pegawainya di kantor, beliau menyuruh saya mengambil pesanan cake untuk anaknya dan mengantarkannya ke rumah karena beliau ada meeting di kantor."
"Oh, baiklah. Silahkan masuk mbak Vian."
Pintu pagarpun dibuka, Vian memasukkan mobilnya ke pekarangan rumah. Membawa masuk kotak-kotak kue ke dalam rumah bersama dengan mbak-mbak yang tadi, tak lupa kado satu set rumah beserta barbienya.
Keadaan di dalam rumah sudah cukup meriah, berbagai hiasan khas acara ulang tahun anak-anak sudah di pasang di setiap pojok rumah. Vian mendadak berhenti di depan sebuah lukisan keluarga yang terpampang di ruang tamu. Tampak dia sedang memikirkan sesuatu saat melihatnya. Ditelusurinya satu per satu wajah yang ada di lukisan tersebut.
"Wah, yang itu siapa ya? Wajahnya familiar." Mata Vian berhenti pada satu sosok anak muda yang berdiri paling kiri di lukisan.
"Mbak Vian, ke sini." mbak yang tadi memanggil Vian yang terdiam di depan lukisan.
"Oh iya iya, maaf." Vian pun bergegas mengikuti si mbaknya ke dapur.
"Wah, ini Vian yah." sapa seorang wanita paruh baya kepada Vian.
"Iya, bu." Vian tersenyum seraya menundukkan sedikit kepalanya dan berusaha meletakkan kotak-kotak kue yang ada di tangannya.
"Kamu mau ke mana lagi?" tanya bu Eni, istri pak Ian itu menghentikan langkah Vian.
"Mau ambil sisa kotak di mobil, Bu." jawab Vian sopan.
"Gak usah. Kamu di sini aja bantu saya menata kuenya. Urusan kotak-kotak itu biar mbak Susi aja." bu Eni berbicara sambil tangannya cekatan menata kue di piring-piring cantik miliknya. Vian pun membantu sesuai dengan instruksi darinya.
"Mbak, kotak-kotaknya sudah selesai dibawa masuk semuanya?" tanya bu Eni setelah melihat mbak Susi kembali berkutat di dapur, sibuk dengan minuman yang akan di sajikan.
"Sudah, Bu. Semua sudah saya bawa."
"Bagus. Sekarang kamu bawa semuanya ini ke meja depan yah." bu Eni menunjuk-nunjuk kue-kue yang sudah tertata rapi di depannya.
"Baik, Bu."
"Hmm, permisi Bu." Vian canggung untuk mengutarakan kata-katanya.
"Kenapa Vian?"
"Karena sepertinya di sini sudah beres, bisakah saya pergi ke kantor sekarang?" tanya Vian ragu-ragu, gerakan tangan yang dibuatnya pun terlihat aneh dan sangat canggung.
"Loh, kenapa harus ke kantor?" bu Eni menghentikan sejenak pekerjaannya dan menatap Vian.
"Ada tugas kantor yang harus saya selesaikan, Bu. Karena pak Ian hanya menyuruh saya mengambil pesanan kue. Jadi saya pikir setelah mengantarkan kue-kue tersebut saya harus kembali ke kantor." Jelas Vian perlahan.
"Tugasnya harus selesai hari ini?"
"Gak sih, Bu."
"Kalau gitu, gak ada yang perlu dikhawatirin lagi donk."
"Tapi.... Kalau Bapak mencari saya atau ada tugas-tugas yang harus saya kerjakan bagaimana Bu?"
"Udah, gak perlu cemas. Nanti saya telepon kantor, kasih kabar kamu lagi ada di rumah saya biar
semua yang berhubungan dengan kamu hari ini dialihkan ke pegawai yang lainnya. Beres kan?!" bu Eni mengerlingkan matanya ke arah Vian. Membuat hati Vian ingin tertawa melihatnya.
"Baiklah kalau begitu, Bu."
"Nah, gitu kan enak."
"Bu, acaranya dimulai jam berapa? Koq saya tidak melihat anak Ibu." bu Eni terlihat gusar setelah melihat jam dinding yang terpasang di dapur, "ada apa Bu?
"Hara setengah jam lagi pulang. Itu berarti semua harus sudah siap, karena teman-temannya juga pasti akan datang."
"Wah, ibu harus siap-siap kalau begitu. Biar saya membereskan sisanya di sini." Jawab Vian mantap.
"Saya itu gak masalah, sebentar saja sudah beres, ini yang jadi MCnya belum datang." bu Eni terlihat panik, "kamu bisa jadi MC dadakan?"
"MC?! Saya?"
"Iya, kamu. Soalnya ponakan saya belum datang juga ini sampai sekarang. Jadi kamu bisa ya jadi MC?"
"Saya tidak begitu bisa jadi MC acara anak-anak, Bu. Bawaannya canggung klo sama anak-anak." Vian merasa tak percaya diri diminta menjadi MC di acara ulang tahun anak bosnya.
"Haduh, sebentar lagi punya anak masa masih canggung sama anak kecil." bu Eni ngledekin Vian, berusaha memberinya kepercayaan diri.
"Bukan begitu, Bu. Hanya tidak cepat akrab dengan anak-anak kecil yang baru saya temui saja. Lagi pula baju saya kan baju kantoran, kurang cocok dengan acaranya." Vian berdalih, mencari-cari alasan agar ia tak menjadi MC dadakan. Tetapi memang benar, setelan kemeja dan rok spannya membuat Vian tak nyaman jika harus berinteraksi dengan anak-anak, terkesan kaku dan formil.
"Gak apa-apa. Namanya juga dadakan." bu Eni tersenyum, "atau kamu mau pakai baju saya?" nada bu Eni begitu ketara meledek Vian.
"Ah, Ibu." Vian hanya bisa tersenyum lagi dan lagi. Mana mungkin Vian mengenakan pakaian bu Eni yang berpostur tubuh dua kali lipat dari Vian.
Tiba-tiba terdengar suara klakson mobil dari luar.
"Mbak, tolong dilihat itu siapa" perintah bu Eni kepada mbak Susi.
"Baik, Bu."
Tak lama kemudian, muncul sesosok pria dengan setelan blue jeans dan kaos putih berkerah langsung menuju ke dapur dengan membawa bingkisan besar di tangannya dan senyum ceria di bibirnya. Vian terdiam seketika melihat siapa yang datang, setelah itu menyembunyikan wajahnya dengan kembali berkutat membuat minuman.
'Loh, kok ada dia?' tanya Vian lirih.
"Aku datang, Tante." ucapnya. Mendengar perkataan pria itu membuat Vian shock.
'Apa? Tante?! Jadi ponakan yang dibilang bu Eni tadi itu dia? OMG. Pengen ngilang seketika. Kenapa harus ketemu dia di sini sih, bikin males aja.' Vian ngedumel lirih lagi.
"Wah, tante kira kamu gak jadi datang tadi."
"Kan acaranya masih setengah jam lagi. Jam pulang Hara juga belum nyampe kan?!" pria itu menunjuk jam dinding sambil tersenyum.
"Kamu tuh ya, selalu seperti ini."
"Kan tepat waktu Tante."
"Alasan deh."
"Masih ada yang bisa aku bantu gak nih, Tante?"
"Gak ada, semua udah beres. Kamu ke depan aja, nungguin Hara pulang.".
"Eh, ada orang baru yah, Tante?"
'Mampus. Jangan sampai yang dia maksud itu aku' Vian berbicara sendiri.
"Siapa?"
"Itu." pria itu menunjuk Vian yang sedang membelakanginya.
"Bukan. Itu pegawainya om kamu. Tadi dia yang ambil pesanan kue di bakery."
"Ooo.."
"Vian kemari." bu Eni memanggil.
"I.. I.. Iya, Bu." Vian gugup
'Beneran mampus dah ini. Pasti mau dikenalin. Ah, males. Napa harus ngliatin aku sih tadi?' Vian berjalan menunduk. Malas mengangkat kepalanya.
"Kenalkan, ini ponakan saya Revan."
"Vian." jawabnya singkat sembari mengulurkan tangannya.
"Vian, Revan, Tante tinggal ke kamar dulu ya. Persiapan kilat." bu Eni pun meninggalkan mereka berdua.
Lama mereka bersalaman. Revan tampak masih penasaran dengan wajah Vian. Dilirik-liriknya wajah Vian yang tersembunyi di balik poni ikal dan sebelah tangannya. Vian berusaha melepaskan salaman mereka tapi Revan tetap menggenggam erat. Revan masih penasaran seperti apa wajah Vian.
Di saat Revan hendak menyibak poni ikal milik Revan, seketika itu juga Hara datang. Berteriak memanggil Bundanya. Membuat Vian berkesempatan untuk pergi meninggalkan Revan.
"Mas Revan, Bunda mana?" cegat Hara yang membuat Revan tak bisa mengejar Vian.
"Bunda lagi di kamar. Temen-temen hara udah dateng?"
"Udah. Tuh pada ngumpul di luar sama mamah-mamahnya."
"Udah dateng? Smua?!"
"Yup."Hara mengangguk pasti.
"Berarti acaranya Hara bisa kita mulai donk."
"Tentu bisa." mengacungkan kedua jempolnya.
"Kalau gitu, lets go."
"Lets go.." Hara mengangkat satu tangannya keatas penuh semangat. Revan pun menggendong Hara menuju ruang tamu. Yang sebelumnya memberitahu bu Eni bahwa acara akan dimulai.
'Gak berubah, masih sama seperti dulu. Sayang dan hangat terhadap anak-anak.' ucap Vian lirih dari kejauhan melihat Revan dan Hara.
_______#####_______
(still to be continue)
Bahhhhh....kok langsung di kamar???
ReplyDeleteperasaan terakhir dipangkuan revan?????
kan di skip imoku..
ReplyDeletekmaren juga imoku yang bilang, kesian Revan nopang si Vian bobo..
makanya langsung pindah ke kamar dah..
^^
ve ini cerpen pa cerber sih?? kirain ff korea,<<wkwkwkwk<<<<<tp bagus ko
ReplyDeletesemangat ya v....kisah nyata ni kyaknya...soby suka critanya sederhana tp mnarik...
ReplyDeletemau dibuat novel ya cam?
ReplyDeleteLumayan bagus cam.
Ini bakal dibuat happy apa sad ending ya?
hehe
niatnya cerpen, tapi ngepost nah jadi cerber sumoni.. jadi ya gitu deeeehhh.. hehehehh
ReplyDeletekisah nyata?!! hhmmmmmm.. ^^
keknya gak bisa deh chan klo dibuat novel..
ReplyDeletesoalnya part 3 udah mau V ending'in..
masi lum semangat bikin "novel" lagi..
cukup dengan Savir Blue yg dibuat dalam waktu 6 bulan di sela2 skolah dulu..
soal endingnya..
ntar liat aja yah bakalan sad apa happy..
^^